Aku milikmu

169 8 1
                                    

"Nyaman?"

Setelah membetulkan letak selimut rumah sakit ke atas dadaku, tangannya menepuk-nepuk dadaku.

Tanganku langsung menampik tangannya dengan kasar. Berdecak sambil melotot marah.

"Kamu sudah memastikan berkali-kali. Dan jangan kira aku bodoh. Tanganmu sengaja menepuk-nepuk bagian sebelah mana?!", sentakku marah.

Ia tertawa kecil. Tidak berusaha menunjukkan niat untuk paling tidak membela diri. Dia malah sengaja untuk menunjukkan pikiran kotornya.

"Karena malam ini kamu mengenakan pakaian rumah sakit, aku harus melewatkan satu malam melihatmu tanpa pakaian tidur yang sudah mahal-mahal aku belikan. Jadi, tidak ada salahnya aku menggantinya dengan sedikit menyentuh..."

Aku lempar kuat-kuat salah satu bantal yang menahan punggungku. Lemparanku mengenai kepalanya yang tengah memunggungiku dengan telak.

Sepatah kata makian terlontar begitu saja keluar dari mulutnya. Setelah itu ia masih santai saja memungut bantal yang sudah tergeletak di atas lantai. Lalu membawanya kembali kepadaku.

"Jika kamu banyak tingkah, bekas jahitan di sepanjang tanganmu tidak akan bisa cepat mengering.", ucapnya dengan sabar.

Ia membantu menegakkan tubuhku agar ia bisa meletakkan kembali bantal ke belakang punggungku.

"Aku bisa saja langsung pulang. Kamu malah memaksa dokter-dokter itu untuk memeriksaku dari ujung rambut sampai ujung kaki.", protesku sambil menelengkan kepala, meliriknya yang masih berdiri di sampingku dan mulai menyentuh lembut lengan tanganku.

"Harusnya kamu berterima kasih kepadaku. Aku hanya memperhatikan segala keluh kesahmu selama ini. Sedikit-sedikit kamu demam, kadang pusing-pusing, dan kamu terlalu mudah pingsan"

Meski ia mengatakannya dengan sebal, hatiku merasa hangat menerimanya. Kejengkelan yang terdengar di kalimatnya seperti menyampaikan perhatiannya kepadaku. Alih-alih membalasnya, aku merasa pipiku memanas dan aku tidak dapat menyembunyikan senyum lebarku.

"Bagaimana keadaan pengasuhmu?"

Karena tangannya masih berada di lenganku, aku menggeserkan tubuhku ke pinggir ranjang. Memberi ruang kosong di sisiku yang bebas dari selang infus. Aku tepukkan tanganku ke atas sisi ranjang agar ia segera naik ke sisiku.

"Dia ada di kamar sebelah. Istirahat total, mungkin karena obat yang diberikan dokter setelah menjahit sisi kepalanya." Ia patuh dan aku merasakan sisi kiri ranjangku langsung amblas begitu berat tubuhnya menekan masuk. Ia menaikkan salah satu kakinya ke sisi kakiku. Lalu ia menyampirkan tangan kanannya ke belakang pundakku. Merengkuhku erat.

"Jangan protes.", gerutunya begitu aku berniat untuk protes. "Kamu yang mengundangku terlebih dahulu. Dan lagi, ranjang ini terlalu kecil untuk kita berdua. Jika aku tidak berpegang kepadamu, aku bisa jatuh terjungkir ke samping."

Senyum tidak bisa lepas dari bibirku. Dari luar aku protes, namun rasa nyaman sudah tumbuh di dalam hatiku sampai-sampai pipiku memerah karena terlalu bahagia.

"Jika tanganmu tidak menutupi sebagian kepalanya, mungkin pengasuhku akan terluka lebih parah.", sambungnya rendah.

Aku sudah bersandar sepenuhnya. Sisi tubuh kami saling menyatu dengan hangat. Tangan yang tersampir melewati pundakku, ujung-ujung jarinya menyentuh ujung luka di tanganku.

Kami berdua menatap luka panjang itu dalam diam. Berbagai luka kecil lainnya menghiasi kulitku. Dan tangannya yang lain menyelusuri sisi tanganku yang lain.

"Aku rasa mereka menyerang karena beranggapan aku yang ada di dalam mobil itu.", ucapnya menghentikan keheningan kami.

Aku masih terdiam. Mengikuti jejak jarinya menyentuh ringan kulit tanganku.

The Girl Who Sees Dream : Aku melihat mimpi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang