chapter 2: the number you are trying to reach is curious
Aku sedang menyantap sarapanku ketika Mama tiba-tiba datang, dan duduk di kursi. Ia lalu menatapku sambil tersenyum lebar. "Coba tebak Mama dapat apa?"
Aku menatap Mama. "Apa? Cetakan pertama A Tale of Two Cities? Atau Oliver Twist?" tanyaku. Belakangan, Mama suka sekali membaca novel-novel Charles Dickens. Dan karena Mama adalah Mama, dia tidak mau membaca novel Charles Dickens kecuali lewat buku asli cetakan pertamanya.
Mama menggeleng-geleng. "Kan Mama udah punya," katanya.
Aku mengangkat alis kananku. "Oh?"
"Mama kan, bilang ke kamu kemarin malam," kata Mama sambil mengerutkan kening.
"Oh, maaf," kataku.
"Kamu kenapa, sih? Akhir-akhir ini, kayaknya kurang fokus," komentar Mama. "Kamu lagi bingung? Mikirin apa? Apa kamu baru nyelesaiin buku filsafat yang waktu itu Mama kasih dan lagi mikirin isinya?"
Aku menggeleng. "Enggak kok. Aku enggak mikirin apa-apa."
Mama mengamatiku sekilas. Kemudian tiba-tiba berkata, "Kamu kok, pakai seragam SMP?"
"Hari ini aku MOS, Ma," kataku, mengingatkan.
Mama menepuk meja pelan. "Oh, iya. Maaf ya, Mama lupa. Nah, kalau gitu, berarti ini pas buat kamu," kata Mama sambil menyerahkan sebuah buku kepadaku.
Aku mengulurkan tangan dan meraih buku tersebut. Itu buku tentang berbagai macam mitologi kuno.
"Anggap aja itu hadiah," kata Mama. "Oh ya, apa jangan-jangan kamu kurang fokus, karena mikirin SMA? Emang apa sih, yang kamu pikirin? Pelajarannya susah?"
Aku menggeleng. "Kan udah kubilang, aku enggak mikirin apa-apa," kataku. "Omong-omong, makasih bukunya."
Mama melambaikan tangannya. "Jangan lupa dibaca. Nanti malam, kita bakal ngobrolin bab pertama buku itu. Oke?"
Aku mengangguk. "Hmm."
"Nah, Mama pergi dulu, ya," kata Mama sambil berdiri, nyaris tidak menyentuh sarapannya. "Banyak kerjaan numpuk. Sampai ketemu nanti sore! Jangan lupa, rapiin sofa sama lap pintu depan, ya. Kayaknya tadi Mama lihat debu."
"Oke" balasku.
Kemudian, aku sendirian di ruang makan.
Mama bahkan tidak menanyakan apa pun yang mungkin ditanyakan oleh ibu-ibu normal lain di hari pertama anaknya bersekolah--seperti, "Kamu nanti pulang jam berapa?" atau "Kamu nanti pulang naik apa?" atau sekadar mengingatkan, "Jangan lupa makan siang, ya."
Oke, dia mengingatkanku akan sesuatu: "Jangan lupa baca buku mitologinya. Oh ya, sekalian lap debu di sofa dan pintu."
Aku menghela napas, mendadak tidak lagi tertarik menyantap makananku.
Sejak berkunjung ke rumah Papa beberapa hari yang lalu, aku tidak bisa mengenyahkan ucapan Hera dari dalam kepalaku. Bukan karena kata-kata Hera kelewat hebat atau menginspirasi, tapi, kata-katanya itu seolah-olah membangunkan sesuatu di dalam tubuhku. Rasanya seolah-olah aku adalah Zeus dan Athena bergerak-gerak dalam diriku, berusaha mencari jalan keluar.
Oke, aku akui, belakangan aku juga melakukan semacam pengamatan terhadap remaja-remaja seumuranku. Aku mengamati kelakuan mereka di sosial media. Aku bahkan pernah dua kali mengamati mereka langsung di mal. Tapi, sampai sekarang, aku masih tidak mengerti kenapa orang-orang itu bisa menikmati apa yang mereka lakukan.
Aku juga berusaha membayangkan berada bersama mereka dan... gagal, tentu saja.
Mana bisa aku santai-santai seperti itu tanpa memegang kamus? Bagaimana kalau kesantaianku membuatku lupa struktur kalimat dalam bahasa Prancis yang baru kupelajari kemarin malam?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number You Are Trying to Reach is Not Reachable
Teen FictionKatanya, aku genius dan hidupku kelewat serius. Padahal aku tidak merasa seperti itu. Oke, aku memang pernah menggelar pentas tunggal dari drama Shakespeare yang semua dialognya kuubah sendiri jadi bahasa Jawa waktu aku kelas lima SD. Waktu kel...