chapter 3: the number you are trying to reach doesn't speak in human language
"TEGAK! LO MAU DIPERBUDAK SENDOK?!" Salah satu dari anak OSIS, lagi-lagi berteriak kepada anak kelas sepuluh. Bisa tebak alasannya kenapa? Iya, si anak kelas sepuluh duduk tidak tegak saat lagi makan.
Setelah pengenalan sekolah yang membosankan tadi, sekarang jam istirahat. Anak-anak OSIS berlalu-lalang ke sekeliling kantin, untuk meneriaki anak-anak yang duduk tidak tegak.
Untungnya, waktu kecil Mama sudah sering memarahiku kalau badanku tidak tegak. Jadi, yah, aku aman sekarang.
Tapi tidak dengan Kalila. Dia berkali-kali kelepasan tidak duduk tegak, seperti sekarang.
"Woi, tegak!" kataku sambil menepuk punggungnya.
Kalila menegakkan tubuhnya. "Perasaan tadi udah gue tegakkin, deh. Kapan coba bengkoknya lagi?"
"Tiga puluh enam detik yang lalu," jawabku.
Kalila memutar kedua bola matanya. "Ah, bete abis. Pengen cabut aja."
"Cabut?" ulangku, tidak yakin dengan apa yang kudengar.
Kalila mengangguk. "Iya."
"Cabut apa?" tanyaku lagi.
Kalila menatapku dengan tatapan heran, seolah-olah aku adalah alien yang baru turun dari langit. Padahal, tolong ya, siapa sih, yang bicaranya tidak jelas?
"Jangan bilang, lo enggak tahu cabut itu apaan," kata Kalila.
Aku mengangkat alis kananku. "Menurut KBBI, cabut itu menarik supaya lepas dari tempat tertanamnya--" Aku menghentikan ucapanku. Sial. Aku lupa kalau aku kan, si Aira Baru. Dan Aira Baru, tidak menghafal isi KBBI waktu kelas empat SD.
Kini, giliran Kalila yang mengangkat alis kanannya. "Lo ngafalin isi KBBI?"
Aku menggeleng sambil tertawa. "Enggak, cuma kebetulan tahu yang itu aja," jawabku beralasan. "Omong-omong, maksud lo tadi apa?"
"Maksudnya, gue mau pergi," katanya. "Lo emang enggak pernah denger kata itu apa?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Lo tinggal di goa mana, Ra?" tanya Kalila sambil tertawa.
Aku menepuk punggungnya. "Tegak!"
"Sori!" desisnya.
[.]
Setelah acara hari pertama selesai, anak-anak kelas sepuluh dibubarkan. Tapi anehnya, banyak anak yang masih betah di sekolah--termasuk Kalila (padahal tadi dia bilang kan, dia mau 'cabut').
"Lo enggak mau "cabut", Kal?" Aku menggunakan jari-jariku untuk membuat tanda petik di udara.
Kalila mengangkat bahunya. Sekarang, kami berada di pinggir lapangan basket, duduk-duduk tidak jelas seperti banyak anak lainnya. (Kalau aku adalah aku, sekarang aku sudah di rumah, dan bersiap-siap untuk membaca buku mitologi pemberian Mama.)
"Mager," jawab Kalila. "Di rumah kagak ada orang juga."
"Apa kata lo? Pagar?" tanyaku.
Kalila menoleh lalu mentapku dengan heran. "Ma-ger."
"Ma-ger?" ulangku dengan bingung.
Kalila menatapku dengan tatapan yang mengatakan "Ini orang aneh siapanya Mr. Bean?".
"Mager apaan?" tanyaku, berhubung Kalila sepertinya tidak berniat menjelaskan dengan sukarela.
"Oke, pertama cabut. Sekarang mager. Setahu gue, SMP lo bukan SMP yang diasingkan oleh negara, deh," kata Kalila sambil menatap nama SMP di seragamku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number You Are Trying to Reach is Not Reachable
Fiksi RemajaKatanya, aku genius dan hidupku kelewat serius. Padahal aku tidak merasa seperti itu. Oke, aku memang pernah menggelar pentas tunggal dari drama Shakespeare yang semua dialognya kuubah sendiri jadi bahasa Jawa waktu aku kelas lima SD. Waktu kel...