chapter 11: the number you are trying to reach receives and gives money
"Aira, lihat, nih. Mama punya ORI," kata Mama sambil duduk di meja makan, menyusulku yang sudah menyantap sarapan lebih dulu.
Perkataan Mama itu sukses membuatku mengangkat wajah dari piring dengan semangat. "Mana, Ma?"
Mama mengeluarkan selembar uang kertas lusuh dari dalam dompetnya dan menyerahkan uang tersebut kepadaku. "Itu ORI pertama yang keluar tanggal 30 Oktober 1946."
Aku menerima uang tersebut dan menatapnya dengan takjub. ORI--Oeang Republik Indonesia--adalah mata uang pertama yang dimiliki Indonesia setelah merdeka. Yang sekarang kupegang adalah uang kertas bernilai satu sen--dengan gambar keris terhunus dan tulisan: 'TANDA PEMBAJARAN JANG SAH'. Di bawah tulisan itu, ada tanda tangan Menteri Keuangan A.A. Maramis.
"Mama dapat dari mana?" tanyaku.
Mama tersenyum senang. "Dari teman Mama. Sebenernya, Mama dapat beberapa." Mama merogoh dompetnya lagi dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas.
"Nih, pilih sendiri dua lembar buat kamu," kata Mama. "Tapi yang kamu pegang itu, buat Mama."
Dengan enggan, aku mengembalikan uang satu sen yang kupegang. Kemudian, aku melihat-lihat ORI lain yang dikeluarkan Mama. Akhirnya, setelah aku memilih dua lembar ORI yang kuinginkan, aku meletakkan uang tersebut di dalam dompet. Mama pun membereskan lagi uang-uang tersebut dan menyimpannya kembali.
"Oh ya, Aira," kata Mama sambil mulai menyendok makanannya.
"Hm?"
"Papa ngajak kamu makan siang di rumahnya," jawab Mama.
Aku mengerutkan kening. "Kok tumben?"
"Iya, katanya kantor Papa hari ini lagi libur--biasanya kan, Sabtu juga kerja," jawab Mama lagi. "Dateng, ya? Katanya Fiona sama Hera udah kangen kamu."
Aku menatap Mama. Mama memang tidak pernah bilang secara langsung, tapi aku tahu, dia tidak begitu menyukai Hera dan Fiona. Maksudku, Hera dan Fiona kan, memang berbeda sekali dari Mama. Lagi pula, sebeda-bedanya Mama dan Papa, Mama pasti tetap merasakan sesuatu kan, waktu mereka berpisah?
Tapi, Mama tetap berusaha membuatku datang setiap kali Papa mengundangku ke rumahnya. Mama sendiri pasti datang kalau jadwalnya tidak padat. Aku tidak pernah bertanya, tapi itu mungkin karena Mama tidak mau dinilai sebagai wanita pendendam atau apalah--karena dia memang bukan. Mama lebih pintar dari itu.
"Gimana?" tanya Mama. "Kalau Papa banding-bandingin kamu sama Hera, kamu enggak usah rendah diri. Semua orang kan, punya kelebihan masing-masing. Dan Mama rasa, kamu enggak perlu diingetin lagi soal kelebihan kamu."
Aku mengangguk. "Oke, oke."
Mama tersenyum. "Ya udah. Oh ya, nanti kalau kamu mau pergi, jangan lupa cek tempat sampah, ya. Isinya dibuang dulu, terus habis itu, dalemnya dilap--biar bersih."
"Hmm."
[.]
"Gimana sekolah kamu?" tanya Papa sambil memasukkan potongan bebek bakar ke dalam mulutnya.
Aku mengangkat bahu. "Ya, gitu, deh. Biasa-biasa, aja." Bohong besar. Tapi Papa kan, tidak perlu tahu kalau aku sedikit berubah di sekolah. Bagaimana kalau Papa nanti memberitahu Mama?
Aku kemudian meminum minumanku untuk menutupi ekspresi wajahku--siapa tahu ekspresiku mencurigakan.
"Biasa-biasanya kamu, pasti luar biasa," kata Fiona sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Number You Are Trying to Reach is Not Reachable
Teen FictionKatanya, aku genius dan hidupku kelewat serius. Padahal aku tidak merasa seperti itu. Oke, aku memang pernah menggelar pentas tunggal dari drama Shakespeare yang semua dialognya kuubah sendiri jadi bahasa Jawa waktu aku kelas lima SD. Waktu kel...