•4 Tanpa Warna

55 5 0
                                    

Besoknya, Arthur bangun dari bayangan sofa di cermin pagi-pagi, sekitar pukul 6. Belum ada yang bangun tidur. Syukurlah Francis sudah pulang ke apartemennya kemarin.

Dia berjalan mencari kamar Alfred yang masih belum ditemukan. Semua tempat dirumah ini sudah dia temukan dan ingat. Ingatan Arthur memang selalu bisa dipercaya.

Arthur melihat sebuah jam tangan bermerek tergeletak di meja. Keinginan untuk mencuri masih ada, walaupun dia sudah lama berhenti dari 'pekerjaan' itu. Dia hanya menggeleng, menghapus keinginan itu lalu berjalan lagi. Jika dilihat dengan benar, banyak barang mewah dirumah itu, hanya saja agak tersembunyi. Mulai dari beberapa perhiasan didalam vas bunga antik, tas mahal, sepatu mewah yang mengkilap, dan beberapa barang elektronik seperti handphone dan laptop yang tersebar di setiap meja. Mungkin jika Arthur tahu rumah itu dulu, dia sudah mencuri banyak dari sana.

Dia berhenti tiba-tiba, pandangannya teralihkan dengan sebuah lorong didepannya. Ujung lorongnya gelap, sementara ada satu belokan yang terang dan beberapa kertas yang tersebar dilantai. Sayangnya, dia tidak bisa kesana karena tidak ada cermin menuju tempat itu. Walau cermin tempatnya ini bisa memantulkan bayangan sampai lorong itu. Dia hanya bisa berada di permukaan cermin, berganti ke satu cermin ke cermin lainnya dan menghilang. Dia juga bisa berada di kaca dan berteleportasi dengan mudah dan cepat. Hanya saja, kenapa sulit bertemu Alfred?

Dia terus berkeliling rumah, sampai akhirnya dia bosan tidak menemukan Alfred. Akhirnya, dia keluar dan memutuskan untuk melihat-lihat rumah itu. Halaman belakangnya sederhana dan rapi. Ada beberapa bunga kecil seperti dandelion dan satu pohon maple yang besar. Tidak ada tanaman lain disana. Arthur merasa sedikit gemas melihat tanah kosong dengan rumput pendek itu. Dia ingin tempat ini ditanami oleh mawar dan bunga-bunga cantik lainnya. Itu pasti menyenangkan. Dia jadi teringat mansionnya, tempat dia dan Alfred tinggal 4 tahun lalu. Tapi dia tidak mau memikirkan masa lalu sekarang.

Dia berputar menuju halaman depan. Sama, tidak ada apapun yang menarik. Dia membuang nafas dan bertopang dagu di jendela. Biasanya jika seperti ini, tangannya akan membawa secangkir teh pagi yang hangat ditemani dengan koran, awan mendung dan suara tawa seorang anak yang sedang bermain balon air diluar. Bibirnya akan mengukir senyum melihat tawa anak tersebut. Pada akhirnya, dia akan ikutan kebasahan lalu bermain balon air bersamanya dan bermain hujan-hujanan dengan anak itu sampai puas, melupakan koran basah dan tehnya yang dingin diatas meja kayu. Sayangnya semua tidak ada. Koran tidak ada, hari ini cerah, dia tidak bisa membuat teh dan anak itu sudah hilang.

"Aku kangen hari mendung." ucapnya tanpa sadar seraya menutup matanya, mencoba mengingat masa lalu yang terasa seperti ribuan tahun lamanya.

Matanya langsung terbelalak begitu mendengar suara menguap dibelakangnya. Seketika dia berbalik, dan menatap wajah Alfred tepat didepannya, sedang melihat keluar. Arthur mendesah pelan, lalu mengeluarkan nafas lega.

"Hai Al.," sapanya. Alfred terdiam; Arthur sudah tahu ini akan terjadi. Dia melihat Alfred dari ujung rambut yang berdiri, keujung kaki, lalu kembali ke wajah. Tidak ada yang berbeda. Hanya kacamata yang menggantung diujung hidungnya nampak tidak pas dengan wajahnya yang tirus. Dia malah terlihat idiot, bukan cerdas. "Kamu masih sama ya, atau berbeda..."

Arthur teringat lagi semalam, ketika Alfred bilang kalau Arthur itu orang yang bodoh, tidak berguna dan bukan siapa-siapanya dia. Arthur tidak yakin dia bicara fakta, itu lebih seperti ada sesuatu yang ditutup-tutupkan olehnya. Walau begitu, dia masih sakit hati.

"Hujan." Gumam Alfred. Arthur langsung melihat keluar, berharap untuk hujan. Tidak, diluar masih cerah.
Arthur berbalik ke Alfred dan membuang nafas, duduk di balkon jendela. Pijama Captain America kusut yang dipakai Alfred menarik perhatiannya dan membuatnya meringis. Arthur melirik bajunya dan melihat ada sedikit kerutan di sweater vest hijau miliknya. Dia merapikannya lalu melihat kacamata Alfred.

Bubble ZonesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang