"Makalah kalian saya tunggu Kamis lusa di meja saya. Saya cukupkan untuk hari ini, selamat siang," ujarku menutup perkuliahan hari ini.
Suara koor dari para mahasiswa menjadi pengantarku meninggalkan kelas. Huah, rasanya lega. Hari ini kelas padat sekali, meskipun ruangannya berpendingin udara, tetap saja aku merasa kekurangan oksigen di dalam sana. Malasnya lagi, sepertinya aku melihat beberapa wajah lama di kelas.
Heran, kenapa mereka yang sudah mendapat nilai B banyak yang mengulang mata kuliahku? Sebegitu niatnya mereka mencari nilai A sampai mengulang lagi.
"Bu Aretha," panggil seseorang yang mengejar langkahku di lorong panjang menuju ruang dosen.
Ini dia, salah satu mahasiswa yang mengulang mata kuliahku. Siapa ya namanya? Dion?
"Ada apa? Ada yang belum Anda mengerti?" tanyaku to-the-point.
Dia menggeleng. "Cuma mau kasih ini untuk Bu Aretha," katanya menyodorkan sebatang cokelat. Berpita pink pula. Membuatku menaikkan sebelah alis, keheranan dengan tingkah mahasiswa di depanku ini.
Astaga, mau modus toh ternyata? "Terima kasih, tapi saya sedang sakit gigi. Sebaiknya untuk teman Anda saja," tolakku sambil berlalu, nggak tega sebenarnya. Bukannya nggak tega melihat tampang melasnya, tapi nggak tega menolak cokelat pemberiannya.
Begini, aku sedang tidak sakit gigi. Bukan juga tidak suka cokelat. Suka banget malah. Cuma, masa iya aku terima cokelat pemberian mahasiswa? Aku ini dosen, meskipun tergolong baru sih. Gengsi dan tengsin kalau sampai seorang Aretha menerima cokelat pemberian mahasiswa. Umurnya paling berapa sih? Sembilan belas? Dua puluh?
Nehi.
Aku ini punya prinsip. Selama masih ada Aa Aa, pantang sama Dd Dd. Baca: selama masih ada Aa Aa (pria yang lebih tua, Sunda), nggak mau sama Dedek Dedek (alias berondong). Apalagi usiaku sudah 26 tahun, bukan usia untuk pacaran lucu-lucuan. Aku sudah harus memikirkan untuk berumah tangga. Aku mencari calon suami, bukan lagi calon pacar. Yah, ketahuan deh kalau aku jomblo.
"Bu Aretha."
Kali ini apalagi? Mau ngasih bunga?
Eh, eh. Tunggu dulu. Saat aku menoleh ke sumber suara, siapa sangka kalau bukan mahasiswa kegenitan yang biasanya ngegodain aku. Ternyata ada, ekhem, kenalkan. Dia adalah Pak Dirga. Pria yang sudah tujuh tahun ini menjadi idamanku.
Dulu, saat aku masih kuliah Strata 1, Pak Dirga adalah seorang dosen baru, usianya baru 25 tahun kala itu. Kesempatanku untuk diajarinya hanya selama enam bulan kurang, alias satu semester. Ya, aku hanya pernah sekali mendapat mata kuliah yang diampu oleh Pak Dirga. Setelah itu aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Belum lagi dua tahun kemudian aku mendengar berita bahwa Pak Dirga menikah.
Rasanya seperti kalah sebelum berperang. Patah hati sebelum jadian. Itu dulu.
Sekarang? Pak Dirga yang berdiri di hadapanku tetaplah Pak Dirga yang cool, pintar, berwibawa, pembawaannya kalem dan ganteng. Tubuhnya tinggi tegap, dibanding aku sih yang memang cenderung mungil. Bedanya? Status Pak Dirga bukan lagi suami orang. Pak Dirga pria merdeka, karena tiga tahun lalu istri Pak Dirga yang sedang mengandung anak pertama mereka meninggal di sebuah kecelakaan. Bukannya aku senang akan musibah tersebut, hanya saja aku merasa mungkin ini jodoh yang tertunda dari Tuhan.
Siapa tahu aja aku berjodoh dengan duren tanpa anak ini, kan? Kok aku jadi ingat quote yang suka ada di truk antarkota ya? Kutunggu dudamu.
"Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sopan, bagaimana pun beliau pernah menjadi dosenku, dan sekarang dia adalah dosen senior.
"Saya perlu bahan untuk jurnal, bisa tolong carikan buku? Kebetulan tiga hari ini saya harus keluar kota. Ikut project Prof Radhiman," jawabnya dengan suara yang aduhai syahdu banget. Bikin lutut lemas. Itulah hebatnya Pak Dirga, suara dan ekspresi wajah sebenarnya datar, tapi bikin hati jadi bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daun Muda Reta (ON HOLD)
ChickLitAretha (26), atau panggil saja dia Reta. Dosen cantik yang cool di luar, tapi sering bertingkah konyol. Dia selalu berprinsip bahwa hanya akan menjalin hubungan dengan pria yang lebih tua. Itulah yang membuat Reta diam-diam menyukai Dirga, rekan dos...