Untitled Part 6

5.1K 296 27
                                    

Kalian tahu apa alasanku lebih memilih jalan kaki daripada menggunakan kendaraan beroda empat untuk sampai di kosan? Yup, harusnya karena dengan berjalan kaki aku bisa sampai dalam waktu singkat. Bahkan, dengan menggunakan motor, aku bisa memangkas lima belas menit menjadi tujuh menit. Harusnya.

Ternyata tidak saat yang memegang setang motor itu adalah Agha. Bocah tengil satu itu malah membawaku berputar-putar keliling ibu kota selama hampir satu jam sebelum aku turun dari motornya. Ini perjalanan dari kampus menuju kosan yang terlama, kurasa. Lebih lama daripada saat aku harus naik kendaraan umum.

"Waduh, hujan nih. Gimana dong? Aku nggak punya jas hujan lagi," ujar Agha ketika menerima helm dariku dan bersamaan dengan turunnya hujan. Dalam hati aku dongkol sendiri, dia yang membuat perjalanan dari kampus ke kosan seperti dari kampus ke Bekasi. Padahal, saat masih di kampus memang sudah mendung. Di perjalanan tadi juga sudah mulai rintik.

Aku memutar bola mataku kesal sambil berdecak. "Kamu mau berteduh dulu di dalam?" tanyaku sambil mulai menghapus air hujan yang mulai banyak di wajahku.

Agha, bocah tengil nan menyebalkan itu mengangguk semangat sambil tersenyum lebar. Dasar, jangan-jangan dia sengaja lagi membawaku berputar-putar dulu dengan perhitungan sampai di kosan langit sudah mulai meluruhkan hujannya. Bisa jadi, kan?

"Dasar modus."

---

"Lho, Ran?" Aku keheranan saat memasuki kamar kosku. Bisa kulihat Agha duduk bersebelahan dengan seorang gadis yang bernama Kirana. Mereka terlihat mengobrol akrab sebelumnya. Dasar playboy cap kutu badak. Baru kutinggal nggak lebih dari sepuluh menit ke dapur untuk membuatkannya mie instan, langsung akrab aja sama penghuni kamar sebelah. Aku bahkan butuh tiga hari untuk bisa ngobrol seakrab itu dengan tetangga penghuni kamar.

"Eh iya, Mbak Reta. Aku tadi mau pinjem pembolong kertas. Tapi nggak tau letaknya di mana. Terus, aku juga nggak tau di sini ada Agha," ucap Kirana yang entah kenapa seperti malu-malu sambil melirik Agha yang sudah mengambil mangkuk mie instan dari tanganku.

"Makasih ya, Tayang," kata Agha lalu dengan santai duduk di lantai samping tempat tidurku.

Aku berjalan menuju meja belajarku sambil memerhatikan Agha yang mulai melahap mienya. Sedangkan Kirana yang duduk di sampingnya mengoceh menceritakan tentang dirinya yang sesekali ditanggapi Agha. Sekilas melihatnya, orang akan tahu kalau Kirana menatap Agha dengan tatapan memuja.

Ah, Kirana. Gadis manis yang baru saja menyelesaikan diplomanya itu pasti sudah terkena guna-guna pesona Agha. Entah susuk apa yang dipakai Agha hingga banyak perempuan yang termakan godaannya. Mungkin susuk kuda liar. Itu susu!

"Kalian udah kenalan?" tanyaku tiba-tiba tanpa dikontrol. Maksudnya apa coba aku bertanya seperti itu? Jelas-jelas mereka sudah ngobrol akrab.

Agha's effect terlalu kuat berdampak pada Kirana. Buktinya Kirana menggeleng dengan pipi merah merona. "Hehe, belum sih, Mbak. Tadi cuma ngobrol biasa aja. Agha asyik banget diajak ngobrol," jawab Kirana sambil melirik Agha yang acuh karena sibuk dengan mienya.

Ini orang baru pertama kali makan mie instan kali ya? Padahal itu mie instan merk khas swalayan, bukan merk Indomie lho, mie instan paling enak menurutku.

"Namaku Kirana," ujar Kirana sambil menyodorkan tangannya malu-malu.

Tangan Agha yang tadinya sibuk memegang mangkuk dan sendok, langsung meletakkan semuanya di lantai dan membalas uluran tangan Kirana. "Agha."

Cocok. Itu kata yang tepat untuk menggambarkan mereka. Kirana manis, Agha ... ya ganteng lah ya. Mereka juga seumuran. Sekarang, aku malah merasa keberadaanku nggak lebih dari gantungan kunci. Ada, tapi nggak perlu-perlu amat untuk diperhatikan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Daun Muda Reta (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang