Part 5

3.5K 218 3
                                    

Aku turun dari motor saat langit sudah berubah gelap. Memasang wajah cemberut, kukembalikan helm yang sedari tadi menempel di kepalaku kepada pemiliknya. "Nih. Makasih, udah bikin kacau hari ini."

Sedikit kutekan helm itu ke dadanya. Dan dia, meski menerimanya dengan sedikit gelagapan, bibirnya tetap menampakkan senyum. "Iya, sama-sama," sahutnya bangga.

Huh, dasar bocah ajaib. Ya, bocah bernama Agha itu pada akhirnya mengantarku dengan motornya. Jadi, beberapa jam tadi kami berada di satu mobil, yang ternyata mobil culikan. Mobil yang Agha culik dari temannya yang bernama Dion. Agha memang punya bakat kriminal, nggak hanya menculik manusia, dia juga menculik mobil.

Setelah keluar dari warung bakso, Agha membawaku yang sedang kesal berputar-putar mengelilingi kota. Sambil membujuk dan terus-terusan bersumpah bahwa dirinya dan si cinta monyet nggak ada hubungan apa-apa. Sampai akhirnya aku ketiduran dan Agha membawaku ke rumah Dion.

Di rumah Dion yang besar itu, terparkir motor bebek tak nungging, milik Agha. Ternyata barang-barangku pun sudah ada pada Dion. Mahasiswaku itu membawanya dari restoran.

Aku jadi teringat Mas Dirga yang dengan terpaksa kutinggalkan begitu saja di restoran. Entah apa yang ada di pikiran Mas Dirga tentangku. Mungkin nilai pasaranku sudah anjlok di matanya. Ini semua karena bocah tengil yang tiba-tiba saja menculikku.

"Kok malah bengong? Mikirin apa sih, Tayang cantik?" tanyanya masih dengan panggilan anehnya. Dia aneh, tapi aku lebih aneh lagi. Lama-lama malah aku terbiasa mendengarnya memanggilku dengan sebutan Tayang, karena saking seringnya dia memanggilku seperti itu di sisa perjalanan tadi.

Aku mendesah keras. Mendesah yang ke arah frustasi. "Mikirin Mas Dirga," jawabku pelan.

Raut wajah yang tadinya banyak tersenyum itu, berubah seketika. Di dahinya muncul kerutan kecil. Matanya menyipit sebelum dia memalingkan wajahnya. "Kenapa mikirin cowok lain sih?" Suaranya tak kalah pelan denganku sebelumnya, malah terdengar seperti menggerutu. Meski begitu, aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Dia memejamkan mata sebentar, dan menarik napas dengan kasar. Lalu mengembuskannya tak kalah kasar sebelum akhirnya melihatku lagi. Wajahnya sudah kembali tersenyum. Senyum terpaksa.

"Ya udah, kamu masuk gih," ujar Agha masih dengan senyum terpaksanya.

"Hah? Udah gitu doang?" tanyaku spontan karena bocah sableng ini menyuruhku masuk begitu saja.

Waw, lihat. Ekspresinya berubah lagi. Senyumnya yang terkesan jahil tapi super so sweet kembali. "Jangan bilang kamu mau aku cium, kayak yang di novel atau film gitu? Iya, kan?"

Idih, siapa juga yang mau dicium? Kotor sekali pikiran pemuda di depanku ini. Maksudku, dia tidak mau memberiku penjelasan apapun gitu? Kenapa dia tiba-tiba muncul, mengganggu makan siangku dengan Mas Dirga, kemudian menculikku. Pasti ada alasannya, kan?

"Jangan ngarep kamu. Gih sana pulang!" usirku tanpa basa-basi. Ini sudah lewat jam makan malam, dan kalau dia tidak berniat mentraktirku makan, sebaiknya dia pergi. Aku masih punya stok mie instan di dalam kamar kos.

Dia menghela napas, seperti keberatan. Tampangnya sudah seperti seorang ibu yang mau melepas anaknya ke medan perang. "Ya udah, kamu masuk dulu. Setelah itu aku pulang," ujarnya.

Aku hanya mengangguk sekilas. "Oke, hati-hati di jalan," ucapku sebelum masuk ke dalam kos-kosan.

---

Sudah lebih dari satu jam aku hanya menunduk saja. Saat ini aku sedang berada di ruang konferensi. Ruangan ini biasa dipakai untuk pelaksaan sidang atau presentasi penting. Seperti halnya sekarang, Profesor Radhiman dan rombongan sedang mempresentasikan hasil penelitian mereka di Serang. Disaksikan beberapa dosen dan juga mahasiswa.

Daun Muda Reta (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang