Part 4

3.4K 230 2
                                    

"Berhenti, nggak!" teriakku setelah beberapa menit mengalami penculikan. Benar, ini penculikan namanya. Ditarik paksa dan entah dibawa ke mana. "Kamu itu mau bawa aku ke mana sih?"

Peduli amat dengan bahasa formal atau sopan santun. Penculik seperti dia nggak pantas diperlakukan baik-baik.

"Aku bisa laporin kamu ke polisi atas tuduhan penculikan!" ancanmku, yang tak ditanggapinya. Berasa ngomong sama patung lilin. "Kamu sebenernya kenapa sih? Tiba-tiba datang, nyulik orang sembarangan. Gangguin orang kencan aja!" gerutuku sebal.

Dia melirikku sekilas. "Kencan? Kamu kencan sama cowok model begitu?"

Plak!

"Wadaw!" teriaknya saat kupukul lengannya keras-keras, dengan sepenuh tenaga. "Pedes amat sih pukulan kamu," ucapnya sambil mengelus lengannya yang baru kupukul dengan segenap hati dan tenaga.

"Jangan ngomong sembarangan tentang Mas Dirga!" marahku nggak terima saat Mas Dirga dibilang 'cowok model begitu'.

Aku memincingkan mata saat kudengar dia mendecih dan menggerutu pelan. Entah apa yang dia gumamkan. Pasti yang jelek-jelek deh.

"Kamu mau bawa aku ke mana sih?" tanyaku saat aku merasa bahwa kami sudah cukup jauh dari TKP penculikan. Bukan apa-apa, masalahnya beberapa barangku masih tertinggal di restoran. Ponsel, tas, bahkan blazer yang sebelumnya aku pakai dan aku sampirkan di sandaran kursi restoran. Aku bersama bocah mesum ini dengan tangan kosong.

Astaga! Kutepuk keningku saat teringat kalau dia adalah seorang bocah kelebihan hormon seksual. Bagaimana aku bisa lupa dengan hal itu? Jangan-jangan dia mau membawaku ke tempat yang nggak diketahui orang. Lalu melakukan sesuatu yang buruk terhadapku.

"Iya, lo beresin aja dulu yang di sana. Ya elah, pinjem doang sebentar. Kalo udah selesai juga gue balikin. Ntar gue ke sana sekalian bawa orangnya. Jangan pelit-pelit lah sama gue."

Obrolan sepihak itu terdengar dari samping kananku. Kok jadi horor gini ya? Aku merasa seperti berada di film thriller. Dia mafia perdagangan manusia, dan aku calon korbannya.

"Berhentiii!" Aku berteriak kencang. Teriakan rupanya berdampak cukup gawat. Mobil seketika oleng. Mobil yang mau membawaku entah ke mana ini, nyaris menabrak mobil lain yang berada di depan. Nyaris, andai Agha tidak segera membanting stir dan membuat kami masuk tepat ke halaman pertokoan.

Jantungku berdetak kencang, masih terngiang decitan suara rem mobil yang diikuti suara klakson bersahutan. Berikutnya yang aku sadari, tubuhku tertahan lengan seseorang. Tubuhku aman dari benturan dashboard. Tangan si mafia, Agha.

Aku tersentak saat tubuhku dipaksa memiring ke arahnya. Kedua tangannya di bahuku. Wajahnya khawatir sekaligus panik. Matanya menulusuri tubuhku. Tapi aku tahu, nggak ada unsur melecehkan sama sekali di mata kecokelatan itu.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" Aku belum sempat menjawabnya, saat kedua telapak tangannya sudah berpindah menangkup pipiku.

Tanpa aku sadari, air mataku lolos begitu saja. Aku nyaris berada di sebuah kecelakaan beruntun. Kalau aku nggak berteriak sembarangan dan membuatnya terkejut, mungkin kami tidak berada di depan toko bahan bangunan ini. Mungkin aku sudah dilarikan ke rumah sakit, atau lebih parahnya, mungkin aku sudah dibawanya ke tempat antah-berantah. Mungkin aku nggak perlu menangis dalam pelukannya.

"Sssh ... Udah ya, udah. Aku minta maaf, kamu pasti kaget ya?" bisiknya pelan, berusaha menenangkan aku.

---

"Tau nggak, Ret? Muka kamu sekarang itu lucu banget. Mata kamu besar kayak bakso. Hidung kamu merah benget. Kayak hidung badut. Hahaha."

Aku menatap garang pada bocah bernama Agha yang sedang asyik tertawa lebar. Membuat pengunjung dan pedagang di warung bakso ini menoleh pada kami. Setelah lebih dari setengah jam aku menangis dalam pelukan Agha, tiba-tiba saja perutku dengan tanpa sungkan berbunyi seenaknya. Membuat Agha melepaskan pelukannya, lalu berusaha mati-matian menahan tawa sampai wajahnya memerah. Akhirnya, dia membawaku ke warung bakso yang tidak terlalu ramai ini. Lalu tertawa sampai terpingkal-pingkal.

Daun Muda Reta (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang