Part 2

4.1K 256 5
                                    

"Selamat siang, Bu Aretha," ujar satu dari dua orang mahasiswa yang berdiri di hadapanku.

Aku baru saja selesai memberikan bimbingan pada mahasiswa yang sedang skripsi, setelah sebelumnya mengajar marathon di tiga kelas. Kali ini apalagi? Seingatku janji konsultasi dengan mahasiswa untuk hari ini sudah tuntas lima menit yang lalu.

"Ada apa?" tanyaku singkat, tak ingin berlama-lama karena aku harus merangkum beberapa catatan untuk jurnal Pak Dirga. Ugh, mengingat hal itu membuatku teringat pada kejadian kemarin di perpustakaan. Pada akhirnya, aku malah meninggalkan buku yang kubutuhkan dan belum menemukan referensi lain.

Mahasiswa yang tadi menyapaku menyodorkan map di hadapanku. "Kami ingin menyerahkan TOR* untuk acara bedah buku minggu depan. Di dalamnya juga ada susunan acaranya," ujar mahasiswa itu.

Aku menerima map tersebut sambil menganggukkan kepala. "Ya, saya terima. Nanti saya pelajari TOR-nya, lalu saya kontak nomor panitia untuk selanjutnya."

Kedua mahasiswa itu menghela napas. Mereka terlihat lega karena aku sudah mengiyakan untuk menjadi moderator dalam acara bedah buku tersebut. Aku memang berniat datang, apalagi pembicara yang didatangkan adalah seorang penulis yang aku idolakan. Tidak ada ruginya, toh acara digelar sore hari, usai jam mengajar.

"Kalau begitu kami permisi dulu, Bu. Terima kasih, selamat siang."

Kubalas sekedarnya salam mereka sebelum mereka pergi. Kurenggangkan badan ke kanan dan kiri untuk melemaskan otot-ototku. "Huaaah." Untunglah tidak ada dosen lain di ruangan ini. Beberapa masih ada di kelas, sebagian yang lain juga sedang ikut proyek penelitian Prof. Radhiman.

"Selamat siang, Aretha." Aku sedang menundukkan badan untuk melepas sepatu heels yang kupakai saat sapaan itu menerpa telingaku.

"Si ..." Balasan sapaku terhenti melihat siapa yang ada di hadapanku. "Ada apa?" tanyaku dengan tampang jutek-sejutek-juteknya pada mahasiswa mesum di depanku ini. Ya, dia salah satu dari mahasiswa yang kemarin aku pergoki sedang melakukan hal tidak senonoh.

"Balas dulu sapaanku,"pintanya santai dan langsung menduduki kursi yang ada di seberangku. Kursi yang biasanya justru disegani mahasiswa bimbinganku.

"Selamat siang juga. Kalau tidak ada keperluan silakan tinggalkan ruangan ini. Saya sibuk," ucapku bermaksud mengusirnya. Jujur saja, walaupun tampang anak ini tampan, aku nggak berminat meladeninya, terlepas apa tujuannya ada di sini.

Dia malah terkekeh mendengar ucapanku. Dasar aneh! Emangnya ada yang lucu apa? Terus, itu apalagi di pipinya? Lesungnya kok bikin ganteng sih? Halah, salah fokus.

"Apa yang Anda tertawakan?" tanyaku sambil memiringkan kepalaku saat dia masih berusaha keras menahan tawanya.

"Kamu. Kamu lucu, Ret."

Mataku nyaris lompat mendengar jawabannya. WHAT?! 'Ret' katanya? Dia memanggilku 'Ret'?

"Tolong Anda sopan sedikit. Saya ini dosen di sini, dan jangan sembarangan memanggil nama orang," ucapku ketus. "Emangnya nama gue 'karet' apa?"gerutuku sepelan mungkin, agar nggak didengar oleh makhluk aneh di depanku.

"Hahaha ..." Dengan kurang ajarnya dia malah melepas tawanya. Situ mau pamer lesung pipit?

"Anda ini tidak waras ya? Malah ketawa lagi!"

Mendengar suaraku yang agak meninggi, dia menghentikan tawanya. Tawa nggak jelasnya itu berakhir dengan beberapa kali suara batuk. "Sori, sori. Galak banget sih kamu. Aku-"

"Dan gunakan bahasa yang sopan. Jangan main 'kamu-kamu' saja ke saya," potongku cepat. Risih mendengarnya menyebutku 'kamu'. Bukannya aku gila hormat atau apa, tapi aku rasa dia harus tau tempat, bahwa ini di ruang dosen. Bagaimana kalau tiba-tiba ada dosen lain datang dan mendengar?

Daun Muda Reta (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang