Part 9 - The Untold Story

699 51 0
                                    

Sudah dua jam Dimas menunggu kedatangan Dinda tetapi yang ditunggu tidak datang juga. Mungkin hari ini Dinda tidak akan datang, pikirnya. Atau mungkin Dinda tidak akan mau datang kesini lagi? Ah dia memang terlalu bodoh telah mengatakan hal itu pada Dinda kemarin.

Dimas sadar kata-kata yang dilontarkannya pada Dinda kemarin mungkin terlalu kasar. Tidak ada niat menyakiti sebenarnya, hanya saja Dimas sepertinya belum siap menceritakan keadaannya pada Dinda.

Jika dipikir-pikir apa yang ditanyakan Dinda kemarin bukankah sebuah hal yang wajar? Bukankah di awal pertemuan mereka waktu itu mereka telah mendeklarasikan bahwa mereka adalah teman? Bukankah sebuah hal yang sangat wajar jika seorang teman menanyakan keadaan temannya? Apakah bagi Dimas, Dinda masih menjadi orang yang asing? Ayolah dia sudah beberapa hari ini menemaninya di rumah sakit dan kemarin Dimas baru saja melukai perasaannya.

Pikirannya berkecamuk tentang perasaan bersalahnya pada Dinda. Ketika dia sedang asik berpikir tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar. Seketika Dimas antusias, mungkin itu Dinda yang tidak jadi ngambek pikirnya.

Tetapi harapan itu sirna ketika yang muncul dari balik pintu ternyata bukan Dinda tetapi pak Tarman supir kakeknya.

"Loh pak Tarman kok sendirian? Dinda mana?" Tanya Dimas.

"Maaf mas, saya tadi sudah nunggu hampir dua jam di depan gerbang sekolah tapi mbak Dindanya gak nongol-nongol." Kata pak Tarman menjelaskan.

Great! Jadi sekarang Dinda benar-benar ngambek rupanya.

"Udah coba telepon dia pak?" Tanya Dimas.

"Saya gak punya nomor hp nya mbak Dinda mas, taunya cuma alamat rumahnya dari kartu pelajarnya yang disita sama pak Damar."

"Oke kalo gitu sekarang pak Tarman cari Dinda ke rumahnya aja pak. Suruh dia kesini. Kalau gak mau ancem aja suruh bayar tagihan mobil kakek yang waktu itu dibikin lecet gara-gara dia." Kata Dimas pada pak Tarman.

"Baik mas." Pak Tarman pun langsung melaksanakan perintah Dimas.

Sementara itu Dinda yang baru saja sampai rumah bertemu dengan ibunya.

"Loh hari ini kamu gak belajar kelompok?" Tanya Ibu Dinda.

"Ha? Belajar kelompok?" Tanya Dinda yang tidak mengerti dengan pertanyaan ibunya.

"Iya, kan kata Rizky kamu akhir-akhir ini pulang sampe malem gara-gara belajar kelompok sama temen kamu?"

"Eh emm iya mah. Hehe hari ini temen Dinda lagi sakit jadi belajar kelompoknya libur dulu hehe." Ya, Dinda memang belum menceritakan tentang masalahnya yang membuat lecet mobil orang. Kalau sampai ibu Dinda tau dia pasti sudah kena marah sampai botak. Mengingat segala kekacauan yang dulu sering kali Dinda lakukan, ibunya sudah sering mendapat teguran dari orang-orang perihal kelakuan Dinda. Dalam hati Dinda berterima kasih pada Rizky yang sudah memberikan alasan pada ibu Dinda bahwa Dinda selama ini pulang malam bukan karena harus menanggung hukuman menemani Dimas di Rumah sakit.

"Bisa diandelin juga tuh anak. Bagus lah." Ucap Dinda dalam hati.

"Lagian kamu belajar apaan sih Din sampe pulang malem-malem gitu?" Tanya ibu Dinda.

"Emm itu ma anu, emm ada tugas praktikum biologi. Jadi ngerjainnya gak bisa cepet ma. Ini aja belum apa-apa. Masih jauh progresnya." Jawab Dinda mengarang.

"Ya ampun tega banget guru kamu ngasih tugas sampe begitu. Yaudah yang rajin ya nak. Biar cepet selesai itu tugasnya."

"Sip ma. Tenang aja. Anak mama ini bisa diandalkan." Kata Dinda sambil menepuk-nepuk dadanya.

Love After The StormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang