Pecahan, dan rokok

214 24 2
                                    

Ini part Alvino, ya.
Monggo, dibaca.

21-mei-2016
_______________

Alvino berjalan sambil menyisir rambutnya ke belakang menggunakan tangannya, membuat para siswi di koridor histeris dengan aksinya tersebut. Sementara di sisi lain, Alvino sama sekali tidak memperdulikan tatapan memuja dari para siswi, ia hanya diam dan tetap berjalan ke tempat tujuannya; taman belakang.

Sesampainya di sana, Alvino duduk di salah satu bangku dekat pohon. Ia bersandar sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Ia membuka kotak itu dan mengambil sebatang rokok dari tempatnya, lalu ia nyalakan dan langsung ia hisap. Ia hisap, lalu ia keluarkan asapnya hingga mengepul di udara.

Alvino memang suka merokok, sejak ia mengalami kejadian yang begitu memilukan. Kejadian yang membuatnya lupa pada dirinya sendiri, yang merubahnya menjadi cowok yang sangat berbeda dengan dirinya dulu. Sungguh, dirinya membuat orang terdekat disekelilingnya menjadi merasa iba.

Ingat, hanya orang terdekatnya.

Hanya orang-orang yang berada pada masa kelam itulah yang tahu. Setelah itu, tidak ada lagi yang tahu. Kenapa? Karna dia tidak ingin merasa dikasihani.

Se-simple itu.

"Lo masih ngerokok, Gra?" Sahut Dito yang tiba-tiba duduk di sebelah Alvino.

Gra.

Kenapa dipanggil 'Gra'? Karena nama lengkapnya; Alvino Agra Winata.

Dari dulu, orang-orang terdekatnya sering memanggilnya dengan nama 'Agra'. Termasuk Dito, Dito merupakan teman semasa kecil Alvino dan terus bersahabat hingga sekarang. Segala sesuatu yang terjadi pada Alvino, ia mengetahui semuanya. Dan hanya Dito lah yang dapat mengerti perasaan Alvino.

Alvino mengangguk, "Masih."

Dito menghela napas. "Kenapa lo nggak berhenti aja, Gra? Paru-paru lo bisa rusak kalo lo ngerokok terus," Ucap Dito sambil menunjuk dada Alvino.

Alvino langsung mematikan puntung rokok dan membuangnya asal lalu berdiri. "Susah, lagian biarin aja rusak, atau kalo perlu gue mati aja sekalian." Ucapnya yang hendak berbalik dan berniat meninggalkan Dito.

Dito menahan Alvino dengan suaranya yang terdengar emosi. Dia tidak ingin sahabatnya seperti itu, bukan ini yang ia inginkan.

Dito beranjak dari bangku. "Agra! Lo- Arrghh! Gue bener-bener nggak ngerti lagi sama jalan pikiran lo! Dulu lo nggak begini, Gra! GAK BEGINI!" Teriak Dito sambil mengacak rambutnya frustasi.

Alvino berbalik lagi dan menghadap ke Dito. "Oh ya? Terus apa bedanya? Bedanya dulu gue nggak ngerokok, sekarang ngerokok? Iya?"

"Bukan, Gra. Maksud gu-"

"Gue tadinya juga nggak mau, To. Tapi keadaan yang bikin gue begini, keadaan yang bikin gue menjadi sosok yang sama sekali nggak tersentuh. Kejadian itu, kejadian yang buat gue berubah 180 derajat. Kejadian yang membuat gue pasrah sama keadaan, kayak udah nggak ada semangat hidup lagi. Jadi, nggak ada salahnya gue ngerokok. Karena, ngerokok satu-satunya cara yang bisa bikin gue mati secara perlahan." Jelasnya lalu pergi dari taman belakang yang menjadi saksi bisu perdebatan antara sahabat itu.

Dito mengusap wajahnya pelan. Dito tidak habis pikir, kejadian itu benar-benar membawa pengaruh besar bagi Alvino. Dito tidak boleh diam saja, dia harus membuat 1001 cara untuk merubah Alvino menjadi Alvino yang dulu.

________________

Ceklek

Alvino membuka pintu rumahnya, satu kata untuk suasana rumah ini.

Sepi.

"Eh, Agra sudah pulang. Mau makan, Agra?" Tanya Bibi Dina saat Alvino memberikan senyuman tipis pada Bibi Dina.

Alvino menggeleng pelan, "Nggak, Bi. Tadi Agra udah makan di kantin. Agra mau langsung ke atas aja." Maaf, Bi. Agra terpaksa bohong. Batin Alvino.

Bohong kalau Alvino sudah makan di kantin, karena kenyataannya ia sama sekali tidak makan. Tadi pagi, ia tidak sarapan dengan alasan perutnya sakit. Dan siang tadi, dia juga tidak pergi ke kantin karena dia pergi ke taman belakang dan bertemu Dito. Jadi, tanpa Bibi Dina sadari, Alvino belum makan sama sekali.

"Oh, yaudah. Nanti kalau mau makan, Bibi udah nyiapin gulai kambing kesukaan kamu, ada di meja makan."

"Iya, makasih, Bi. Agra ke atas, ya." Pamit Alvino lalu ia naik tangga menuju kamarnya, tidak lupa mengunci rapat-rapat kamar pribadinya itu. Itu sudah kebiasaannya, sejak 6 tahun yang lalu.

Alvino menaruh tasnya di kursi belajarnya, lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Panasnya matahari membuat sekujur tubuhnya dipenuhi keringat yang mengucur, untung saja Bibi Dina selalu menyalakan pendingin ruangan satu jam sebelum Alvino pulang. Bibi Dina tahu, Alvino tidak suka panas yang membuat tubuhnya berkeringat.

Alvino memejamkan matanya. Ingin tidur, tapi rasanya sulit. Pikirannya mulai melayang ke mana - mana, disusul dengan dahinya yang tiba-tiba mengkerut. Kejadian-kejadian pahit itu mulai mengerubungi otaknya.

Anak itu hanya mengintip, sampai terdengar suara pecahan yang berasal dari dapur. Anak itu sempat tersentak dan meringis melihat kejadian itu, tapi entah keberanian dari mana dia tetap menyaksikan kejadian itu dengan tangan yang bergetar.

"Kamu ingin aku mati, kan!?"

"Gak, gak gini caranya, sayang. Tolong kamu jatuhkan beling itu."

"Oh! Terus kamu mau aku mati gimana? Gantung diri di sini? Jatuh dari lantai atas? Apa!?"

Sungguh, ini lebih menyeramkan dari sinetron di Tv.

"Nggak, please. Kamu salah paham, aku gak ada apa-apa sama Prieta,"

"BOHONG!- AARGHH!"

"Mamaaa!!"

"AARGH!!!"

Tok tok tok..

Ceklek!

"Agra!? Agra kenapa teriak-teriak?!" Ucap Bibi Dina cemas dengan kain yang tersampir di pundaknya, Bibi Dina lari tergopoh-gopoh dari kamar tamu di sebelah kamar Alvino begitu mendengar teriakan dari Alvino, suaranya terdengar begitu jelas.

"Engg- engga kenapa-kenapa 'kok, Bi. Tadi Agra kaget karena ada kecoa." Lagi-lagi Alvino berbohong pada Bibi Dina. Sekali lagi maafin Agra, Bi. Batinnya.

"Oh, Bibi kira kamu habis mimpi buruk."

Kenyataannya, itu memang benar. Batin Alvino lagi.

Alvino hanya terkekeh sambil menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal. "Agra mau ganti baju dulu ya, Bi. Nanti Agra mau makan." Ucapnya pelan.

"Oh, yaudah! Bibi angetin gulai-nya dulu biar enak." Ucap Bibi Dina lalu menuruni tangga menuju dapur.

"Makasih, Bi!"

"Huuufffttt....." Alvino terduduk lemas sambil menghela napas lega setelah pintunya tertutup kembali.





SELENOPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang