A-Ramah

124 8 0
                                    

Angin yang cukup kencang membuat rambut Nadia berterbangan. Salah satu hal yang paling ia sukai, membiarkan rambutnya berterbangan, sekalipun nantinya akan kusut atau susah disisir. Ia memutuskan untuk duduk di sebuah kursi panjang yang belum ditempati.

Karena topinya hampir terbawa angin, Nadia memutuskan untuk melepas dan meletakkannya di kursi dengan menahannya.

"Mbak-mbak." seorang perempuan dan seorang laki-laki menghampiri Nadia yang sedang menunduk menghadap layar kameranya.

Nadia mengangkat kepalanya dan tak lupa menyinggungkan senyum teramah yang ia miliki, "Ya, ada apa?"

Seorang perempuan tersebut menyikut lelaki di sebelahnya. Mereka juga sempat berdiskusi pelan dan akhirnya, perempuan tersebut mengangkat bicara, "Bisa fotoin kita berdua, Mbak?"

Nadia ber-oh ria, lalu mengangguk dan segera mengambil sodoran ponsel dari perempuan tersebut. Kedua orang tersebut, orang yang Nadia anggap sebagsi sepasang kekasih, berdiri membelakangi arah datangnya angin. "Tiga kali, ya, Mbak!" perempuan tersebut tersenyum, lalu Nadia membalasnya dengan mengacungkan ibu jari.

"Satu, dua, tiigaa. Cekrek." Nadia memencet lingkaran yang digunakan untuk mengambil foto. Sesuai keinginan perempuan tersebut, ia kembali memoto mereka dengan gaya yang berbeda-beda.

"Mbak, kepalanya agak ke atas-in. Mas, senyumnya lebarin dikit." Nadia mengamati sepasang kekasih tersebut, dari layar ponsel. Tak lama kemudian, suara cekrek, terdengar nyaring.

"Udah, Mbak. Ini hp-nya." Nadia menyerahkan benda balok berwarna putih tersebut, kepada sang pemilik.

"Makasih, ya, Mbak. Kalau boleh tau, nama Mbak siapa? Gue, Arina." Arina memajukan tangannya, bermaksud mengajak Nadia berjabat tangan, sekaligus berkenalan. Orang di depannya ini, berhasil membuat Arina terpukau karena kebaikan dan keramahannya.

"Oh, iya. Aku, Nadia." Nadia membalas jabatan tangan dari Arina. Sangat kontras dengan lelaki di sebelahnya. Ia terkesan acuh dan tidak mau berbaur. Tapi, jika mereka benar-benar sepasang kekasih, itu merupakan berita yang wow karena Arina yang menurut Nadia sangat baik, berbeda jauh dengan lelaki tersebut.

"Zidan, kenalan sama Nadia, dong!" bisik Arina dengan menyikut lengan lelaki di sebelahnya itu.

"Gue Zidan." dengan wajah datar yang mengundang kekesalan, Zidan menyodorkan tangannya pada Nadia.

Nadia tersenyum menanggapi Zidan, "Nadia." ia lantas melepas tangannya dari Zidan, begitu juga sebaliknya.

"Nad, gue sama Zidan pergi dulu, ya. Hope to see you again." Arina menggandeng tangan Zidan yang sedari tadi masih terlihat acuh.

"Me too. Take care, ya!" Nadia melambaikan tangannya kepada Arina dan Zidan yang akan turun melalui tangga dari batu bata dan semen.

Awan yang tadinya menebal, kini menipis seiring sorenya hari. Matahari juga mulai turun dengan menyisahkan beberapa berkas sinar sembari menunggu bulan yang tak kunjung nampak. Nadia tak ingin melewatkan momen tersebut. Momen yang menurutnya selalu indah, walaupun ia sudah memiliki ratusan, bahkan hampir ribuan foto dengan tema yang sama.

Drrt drrt. Ponsel yang ia saku, bergetar begitu saja dan menampakkan nama "Mama" di layarnya. Nadia buru-buru menekan tombol gagang telepon berwarna hijau.

"Iya Ma?"

"Ya ampun, sayang. Kamu dimana? Cepetan pulang, ya. Ini udah jam lima lebih, lho."

"Iya, Mama. Ini lagi jalan, kok."

"Kamu jalan kaki?"

"Enggak, maksud Nadia jalan ke parkiran sepedah. Udah dulu, ya, Ma. Bye."

Nadia menjauhkan ponsel dari telinganya dan tak lupa memencet tombol gagang telepon berwarna merah. Hari ini tak beda jauh dari kemarin. Melihat matahari sore, menghirup udara segar, membantu orang, dan masih menunggu dengan sebuah ketidak pastian. Nadia tidak pernah lelah akan hal itu.

|||||||

Saat SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang