F-Teror

64 4 1
                                    

Bunyi petir dan gemericik air terdengar nyaring di telinga Arina. Beberapa kali ketakutan, membuat ia memutuskan untuk menghubungi Zidan karena posisi Arina sekarang di rumah pacarnya itu.

"Kok gak diangkat-angkat, ya? Gak ada orang lagi." Arina mengangakat kakinya ke atas sofa, itu karena udara di luar cukup dingin. Mira sempat berada di rumah, beberapa menit yang lalu, tapi secara tiba-tiba, sebuah telepon masuk dan mengharuskannya pergi di waktu itu, secepatnya.

"Assalamualaikum." suara seorang perempuan yang dibarengi dengan terbukanya pintu, membuat Arina menolehkan kepalanya.

"Waalaikummussalam." Arina menurunkan kakinya dan berdiri untuk melihat siapa yang datang. Untung saja, seseorang datang dan mungkin Arina akan memiliki teman mengobrol.

"Kak Arin?" Nadia membuka matanya lebar-lebar. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Arina untuk kedua kalinya di tempat yang tidak terduga.

"Nadia!" balas Arina tak kalah heboh. Betapa beruntungnya dia, bertemu dengan salah satu orang baik yang bisa saja ditakdirkan Tuhan untuk menemaninya disiang gelap yang awan-awannya sedang mengucurkan air ini.

"Kak Arina, kok, di sini?" Nadia menunjuk Arina dengan senyum yang masih mengembang. Sedetik kemudian, ia teringat sesuatu, "Kak Arin pacarnya Kak Zidan, kan?"

"Lho, lo tau darimana? Lo juga kenapa ada di sini?" Arina mendekatkan dirinya pada Nadia yang terletak bersebrangan.

Nadia dilema. Waktu itu, Zidan pura-pura tidak mengenalnya karena alasan yang tidak jelas, bertepatan juga saat Arina ada di sana. Ini saat yang tepat untuk melepas topengnya, "Kak, sebenernya aku adiknya Kak Zidan." ia menunduk, tak sanggup melihat ekspresi Arina yang pastinya berubah drastis.

"Adik? Tapi waktu itu ... " Arina tak habis pikir, Zidan membohonginya. Bahkan menyembunyikan identitas adik kandungnya sendiri. Ia kecewa, bingung, speechless.

"Please, Kak, jangan marah dulu." Nadia memegang kedua pundak Arina, "waktu itu, aku tanya ke Kak Zidan alasan dia ngelakuin ini, katanya buat surprise biar Kak Arin kaget dan gak percaya kalo orang yang yang ada di rooftop itu, adiknya Kak Zidan. Karena sebulan lagi, aku ulang tahun." berbohong, itu yang mendeskripsikan semuanya, kecuali ulang tahunnya yang memang bulan depan.

"Tapi kenapa harus gini? Dan akhir-akhir ini, dia jarang ngabarin gue, Nad. Sekalipun ngabarin atau ngajak jalan, dia beda banget dari biasanya. Terkesan menjauh, gitu." Arina memeluk Nadia dari samping, ia juga menjadikan pundak Nadia sebagai bantal.

Untuk masalah ini, Nadia benar-benar tidak tahu. Ini soal hati, persoalan yang hanya diketahui sang pemilik, orang lain tidak berhak mengusik atau mengatur, "sabar, ya, Kak. Mungkin Kak Zidan lagi sibuk sama tugas kalo enggak, ya, sibuk nyelesain proyeknya." Nadia mengeusap-usap punggung Arina. Andai saja, Zidan ada di sana, menyaksikan langsung pengakuan hati Arina.

"Oh iya, kalo kakak ke sini buat nyariin Kak Zidan, mungkin gak bisa. Dia tadi telpon aku, katanya ada tugas yang belum selesai dan harus dikumpulin hari ini. Terus sekarang, dia lagi ke rumah temennya yang di deket kampus." Nadia berat menjelaskannya karena ia tahu, ekspetasi Zidan di mata Arina tidak lagi baik.

"Oh, gitu. Tuh 'kan, Zidan gak ngasih tau gue." Arina menunjuk ponselnya yang berada di atas meja. Sedangakan Nadia, pikirannya ke mana-mana dan berhenti di satu titik paling terang.

"Kak, Arya itu adiknya Kakak? Kalo iya, bisa bantuin aku sesuatu, gak?" Nadia tersenyum ragu. Ini bertepatan dengan masalahnya dan ia harus memanfaatkan.dengan sebaik mungkin.

"Iya-iya. Eh, topi lo masih ada di dia? Aneh banget emang Arya, masa bawa-bawa barang orang." memori Arina langsung mengarahkannya pada kejadian di mana Arina mengira Arya membeli topi baru, padahal itu milik Nadia.

Saat SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang