Chapter 7

24 0 0
                                    

Prosesi pemakaman bunda Arsa dan Areta-Wanda berlangsung begitu cepat. Gerimis terlihat begitu setia mengiringi setiap do'a yang dirapalkan oleh para pelayat. Langit tampak kelabu, seolah - olah alam tengah ikut berduka dengan kepergian Wanda.

Areta terlihat masih bersimpuh memeluk nisan bundanya, berharap pelukan itu bisa sama seperti saat dia memeluk ibunya. Terlihat Ara dan Egi selalu setia disampingnya. Mereka terus mencoba untuk menenangkan Areta yang terlihat terpuruk.

Sementara Arsa mencoba untuk tetap terlihat tegar, seolah dia baik - baik saja meskipun sebenarnya hanyalah kumpulan debu yang hanya sekali tiup langsung hilang tak berbentuk.

Neville sendiri sepertinya masih belum mundur, ditengah - tengah duka ia sibuk bergelayut manja di lengan kiri Arsa. Menyandarkan kepalanya dibahu rapuh Arsa, tanpa pernah takut bahu itu bisa runtuh setiap waktunya.

Perlahan satu per satu pelayat yang datang pamit meninggalkan areal pemakaman. "Kamu yang sabar ya, Sa. Selalu ada hikmah dibalik semua ini." ujar pak Lukman guru agama Arsa dan Areta disekolah.

Dia terlihat berusaha menguatkan murid kebanggaannya itu. Arsa hanya mengangguk lemah mendengarnya.

Pak Lukman membungkuk melihat Areta yang benar - benar larut dalam duka. "Reta, kamu harus ikhlas. Bunda kamu sudah tenang disana, kamu tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Kamu harus bisa tegar, ini hanya ujian kecil dari Tuhan."

"Iya, Ta pak Lukman bener. Kamu nggak sendiri kok ada aku, Egi, kak Arsa, Neville, dan teman - teman lainnya." ujar Ara lembut.

"Iya, Ta kamu nggak sendiri. Nggak akan pernah sendiri." tukas Egi terdengar begitu mantap. Bahkan terkesan seperti sebuah janji.

Terhitung waktu sudah hampir sepekan pasca meninggalnya bunda Arsa, tapi ucapan berbela sungkawa terus mengalir dari fans dan juga teman - teman Arsa. Tak jarang salah satu dari mereka berusaha untuk sekedar menghibur atau menguatkan Arsa dengan kata - kata bijaknya.

Sama halnya dengan Arsa, sahabat - sahabat Areta juga tidak pernah meninggalkannya barang sedetik pun. Ara, Egi, Neville dan teman - temannya yang lain pun tidak pernah membiarkan Areta hanyut dalam kesendiriannya.

Mereka berdua benar - benar beruntung karena memiliki begitu banyak teman yang setia menemani disampingnya. Ada disaat bahagia juga susahnya.

Arsa telihat tengah melangkah menuju taman belakang, kali ini dia berjalan seorang diri, bosan dengan perhatian - perhatian yang diberikan oleh teman - temannya. Terutama Sherina yang mendadak menggila demi bisa rujuk dengannya.

Dia benar - benar butuh sendiri. Dia butuh tempat yang bisa ia gunakan untuk menumpahkan semua rasa yang kini memenuhi hatinya hingga membuatnya sesak.

"Butuh sediri, kak?" tanya seseorang, memecahkan keheningan dan berhasil mengejutkan Arsa. Refleks Arsa menoleh dan mendapati Ara tengah berdiri dibelakangnya.

"Ohh, kamu. Sini duduk," Ara hanya mengangguk, lantas duduk disamping Arsa. "Mereka semua justru bikin saya inget sama Bunda."

"Ya, tapikan tujuan mereka baik kak. Mereka semua peduli sama kakak, mereka nggak mau kakak sedih makanya mereka semua berusaha buat hibur kakak."

Arsa hanya tersenyum mendengarnya. "Dulu, kalau aku atau Areta lagi sedih bunda selalu ada. Bunda selalu dateng buat peluk aku sama Areta, dan pelukan bunda benar-benar bikin kita tenang. Dan setelah kita tenang, bunda baru tanya apa masalah kita, setelah itu bunda nasehatin kita dan kasih kita solusi. Tapi sekarang," Arsa hanya bisa menghela nafas, tanpa berniat melanjutkan ucapannya.

Teman Hidup [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang