Ch 1 - 5 of 5

217 9 4
                                    

5

Aku ingin melarikan diri dari pria itu. Aku mencoba melakukan lompatan, melakukan teleport dan berpindah ke tempat yang lain. Namun usahaku sia-sia. Meski aku mencoba lari dan mengirim tubuhku ke tempat yang lain, ia tetap saja mengikuti. Tangannya tak melepas belati yang ia tusukkan di dadaku.

Senyumannya tampak mengerikan meski itu berasal dari wajah tampan. “Kamu pikir bisa melarikan diri?” ucapnya.

Aku merasa tubuhku melayang di udara, lalu jatuh. Kali ini aku tidak jatuh di tempat yang membuat tubuhku kesakitan, namun tetap saja seluruh tubuhku sakit luar biasa akibat belati yang tertancap di dada. Aku tak bisa berkata-kata, rasa sakitnya membuatku ingin mati saja segera.

Air mataku keluar tanpa terasa. Darahku keluar tak berhenti. Anyir menusuk hidungku hingga tenggorokan, membuatku sesak.

“Jangan khawatir, kamu tidak akan mati sendirian di sini,” pria itu berkata lagi.

Dia benar. Aku memang tak akan mati sendirian, sebab kusadari kemudian bahwa aku tidak sendiri. Di sekitarku, dalam jalur pandangku tampak tubuh-tubuh berserakan, ada yang telah jadi tulang, ada pula yang masih tampak kulitnya yang digerogoti ulat-ulat dan beberapa dikerubungi lalat. Pun cairan merah yang kering dan basah lengket di tubuh-tubuh itu hingga di tanah kuning sekitarnya.

Di mana aku?

Dinding tanah liat tampak tinggi. Di atas sana bulan tampak besar di langit hitam. Sepertinya aku di sebuah lubang. Mungkin lubang pemakaman karena banyak mayat bergelimpangan.

Jika aku mati di sini, maka ini akan menjadi terakhir kalinya aku melakukan teleportasi bodoh ini. Dan ketika kupikir aku akan mati, suara tembakan terdengar, letusannya nyaris membuatku tuli.

Lalu, dari kepala pria itu cairan merah keluar, jatuh mengenai dahiku. Kemudian pria itu roboh ke samping. Dia tak bergerak lagi.

Dengan kekuatan yang masih tersisa aku meraih belati yang menusuk di dadaku dan menariknya keluar. Nyeri yang luar biasa menghantam sekujur tubuhku, dan aku tak sanggup menggerakkan diri meski hanya jari-jari.

Di ujung dinding tanah liat di atas sana, samar tampak seseorang berdiri dengan tangan memegang revolver perak yang berkilat. Dia melompat dari tempatnya berdiri hingga menjejak di dekatku.

Bukan pria yang asing. Entah aku harus bersyukur atau tidak. Dia adalah Marc, si pemburu bayaran, musuhku di sekolah.

Dia tersenyum. “Kelihatannya kamu baru saja berutang padaku.”

Sial! Aku tidak pernah mau utang budi pada siapa pun. Apa lagi dia.

GiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang