Ch. 2 - 8 of 10

226 11 4
                                    

8

Sekolah Bintang Nusantara. Nyaris tampak sama seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Salah satu sekolah swasta yang elit di Kota Bandung. Sebuah sekolah dengan bangunan bertingkat yang berarsitektur modern. Di dalam bangunan menjulang serupa puzel-puzel hitam dan putih itu terdapat SD, SMP dan SMA. Berhalaman luas dikelilingi tembok beton putih dengan sebuah gerbang pagar besi menjulang hitam mengkilat sebagai pintu masuk utama ke sekolah.

Semenjak SD, aku sudah berada di sekolah ini. Dan aku masih terjebak di sini hingga kini.

Aku melangkah memasuki sekolah pagi ini. Dan seperti pagi hari pada hari-hari yang telah lalu, aku akan menemukan siswa-siswi mengenakan seragam sekolah kami yang berwarna biru denim, putih dan hitam. Jas biru denim dikenakan anak laki-laki, melapisi kemeja putih dengan dasi hitam, dipadukan dengan celana panjang berwarna hitam; beberapa mereka mengenakan sepatu kets dan beberapa mengenakan sepatu hitam yang mengkilat. Sementara anak perempuan mengenakan kemeja putih dengan rompi hitam, dasi hitam dan rok biru denim di atas lutut, kaus kaki putih dan sepatu flat hitam―pun beberapa ada yang mengenakan sepatu kets. Semua siswa-siswi tampak sama seperti para remaja umumnya, beberapa sangat bergaya, sangat modis, sangat cantik juga tampan; beberapa lainnya sangat biasa saja, bahkan tidak mencolok hingga nyaris tak disadari keberadaan mereka di sekolah. Dan di antara mereka, aku termasuk yang biasa-biasa saja, tidak terlalu mencolok, juga tidak menjadi yang tidak terlihat. Aku hanya biasa-biasa saja.

Meski aku hanya biasa-biasa saja di antara mereka, aku tetap tidak biasa tentu saja. Bukan karena kemampuan istimewaku yang tidak seperti remaja bahkan manusia kebanyakan, tetapi karena aku punya penggemar rahasia. Ya! Penggemar rahasia! Seorang penggemar yang selalu menyemangatiku, seseorang yang selalu membuatku tersenyum setiap pagi melalui lembaran memo-memo kecil yang ia masukkan diam-diam ke dalam lokerku.

Pagi ini pun aku mendapatkan memo itu di dalam lokerku, selembar memo kecil dengan kalimat yang tak pernah sama, dengan sehelai semanggi berdaun empat dibingkai plastik. Memo-memo itu bermunculan sejak tiga tahun lalu saat aku masih di kelas sembilan, dan telah terkumpul sangat banyak di dalam sebuah kotak kaleng besar bergambar Menara Eifel di dalam lokerku.

Aku tersenyum membaca pesan singkat di memo itu, hanya sepotong kata. “Ganbatte!” Kumasukkan memo itu ke dalam kaleng bergambar Menara Eifel dan menyimpannya kembali ke dalam loker.

Dan, jika ada yang membuat senyumku lebar setiap pagi, maka ada juga yang selalu membuat setiap hariku sangat mengesalkan. Dialah Marc, si tukang cari gara-gara. Dia saingan sekaligus musuhku semenjak dia datang ke sekolah ini tiga tahun lalu.

“Hey, Gi!”

Suara tak asing itu membuatku membalikkan badan dan kudapati sebuah ransel melayang ke wajahku. Kutangkap ransel itu dengan sigap, lalu seringainya tampak.

“Kamu harus mencicil utangmu padaku,” ia berkata sembari melewatiku dengan penuh kemenangan. “Bawa tasnya ke kelas!”

Aku menatap kesal, tapi dia tentu tak peduli. “Marc, aku pasti akan membalasmu!” Aku mengembuskan napas dan mengunci lokerku, lalu melangkah menuju ke kelas seraya menyeret ransel Marc.

GiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang