Tidak ada yang aku ingat saat itu, yang kuingat mungkin hanyalah sebagian besar dari inti dari sebuah masa kecilku. Bisa dibilang rumit dan tidak mengenakkan untuk diceritakan. Tapi, bukankah mengambil pesan penting dalam kerumitan dan masalah itu boleh saja? Menurutku iya, jadi... Mulai dari mana ya?
Aku Azka Muhammad Ramadhan, lahir di Bandung, 8 November 2002. Aku sangat suka dengan mainan ketika waktu itu, sehingga, ya... Apalagi yang bisa aku cintai selain ucapan "Kaka mau apa kalau ayah pulang dari kantor nanti?" Dari ayahku yang masih terhitung muda ketika itu, ibuku pun tidak mau kalah, namun dia membelikan barang yang memang ku butuhkan. Jadi, aku tidak perlu meminta.
Ibu bilang, sewaktu aku kecil aku itu lucu, dipinjam kesana - kemari antar-tetangga sudah menjadi keseharianku. Ya, setidaknya bisa dibilang begitu. Aku tahu kedua orang tuaku sibuk, mereka biasa pulang sore atau malam, tergantung pekerjaan mereka, sehingga aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama asisten rumah tanggaku. Rumit tendengarnya, mungkin. Tapi... Aku melihat hal yang lebih rumit pada suatu hari.
'Brukk!' 'Brakk!' Semua peralatan rumah tangga berserakkan dan dilemparkan ayahku kepada ibu, dan bisa saja sebaliknya. Aku belum mengerti, aku hanya bisa menangis melihatnya. Keseharianku berubah, aku lebih memilih bermain komputer dibanding bersama teman, aku lebih memilih di dalam rumah. Karena, jika aku pulang larut malam seperti biasanya dari rumah tetanggaku, bukan disambut senyuman, aku dimarahi dan dihukum tegas atas itu. Starcraft merupakan game kesukaanku sejak kecil, game keluaran Blizzard itu adalah pelampiasan kebosananku sejak kecil.
Keluarga kami memang sederhana, aku tidak memiliki mobil pada saat itu. Motor saja sudah terbilang cukup untukku. Hingga suatu hari, aku melihat sebuah motor matic hitam di rumahku. Terbungkus rapi, mulus, elegan. Aku fikir sudah ada kemajuan. Tapi, yang terjadi hanyalah pertengkaran kedua orang tuaku, LAGI.
Jika merasa tidak nyaman di rumah, aku biasa menginap di rumah nenek (Dari ayahku) yang lebih megah dari rumahku yang biasa ku tinggali, rumah itu lebih dari sekedar membuatku nyaman. Bahkan terkadang, saudara pun mampir ke rumah nenekku itu.
Aku biasa menghabiskan liburan bersama ayah di Tegalega, Bandung, sebuah tempat yang luas dan biasa dibuka untuk umum pada paginya. Kalau tidak salah, di tengahnya terdapat Tugu Bandung Lautan Api. Seperti Monumen Nasional atau Monas di Jakarta, namun yang ini puncaknya lebih rumit dan tugu nya lebih pendek. Aku menyukai kembang gula yang biasa ditawarkan kepada anak - anak ketika berada disana.
Aku hampir tidak mengetahui atau lupa akan segala hal di masa kecilku. Kecuali, ketika ayah dan ibu bertengkar suatu malam, namun aku dipanggil mereka. Setibanya di kamar, aku ditanyakan dengan kalimat yang menghantui fikiranku ketika remaja nanti, yaitu "Kaka, kaka pilih ayah atau ibu?". Ku fikir itu hanyalah pertanyaan yang sederhana, tidak sekompleks akibat sesudahnya. Aku pun menjawab "Ibu". Entah mengapa ekspresi keduanya berubah, bahkan ayahku, menjadi redup dan sedih.
Semuanya terlambat untuk disadari, jauh dan lebih dari sekedar terlambat, hingga ibuku mengatakan "Kaka, nanti kamu akan punya ayah baru".
Apa dan dimana kesalahanku? Mengapa seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
A Broken Homed Boy
Short StoryHey, adakah temanmu yang Broken Home? Apa cuma pernah dengar kata itu? Disini, Author sendiri, bakal menceritakan pengalaman pribadi author sebagai bagian dari keseluruhan anak yang mengalami Broken Home tersebut. :) Didedikasikan untuk saya dan a...