Perpisahan

620 43 6
                                    

Semakin hari, ayahku semakin jarang ke sekolahku. Aku pun hanya bertemu 1-2 kali dalam 2 minggu, dan yang ditanyakannya kali ini selalu membuatku berfikir keras, bahkan aku hampir lupa jawabannya.

"Ayah baru kamu, itu teh siapa, kaka?"

"Gataau kaka mah. Tapi kata ibu, dia teh bakal jadi ayah barunya kaka. Kaka teh suka dijajanin juga sama ayah baru itu. Baik orangnya"

"Ohh gitu."

"Ayah... Kenapa ga berani lagi nyamper ke rumah neneknya kaka?"

"Ayah takut, nak. Udah, kamu jangam berharap dijemput ayah sering - sering lagi..."

Lagi - lagi terasa berat dan susah mengingat dialog itu...

Semakin hari, keadaan makin memburuk. Bisa dibilang ayahku semakin jarang menjemputku. Aku yang merasakannya selalu meminjam handphone ibuku, hanya sekedar menuliskan "Ayah jahat! Ayah jahat! Ayah jahat! Ayah udah ga sayang kaka! Ayah jahat! Ayah udah sayang kaka!..." Aku tidak pernah berhenti, kecuali jari jari tanganku kesemutan, karena keypad nya masih keypad T9 yang tiap 'button' nya berisi gabungan alfabet, bukan seperti keyboard / keypad 'Qwerty' saat ini.

Berubah, mainan favoritku tersingkir oleh puluhan mainan HotWheels yang lebih mahal dan bagus. Dibelikan oleh 'ayah baru' ku itu. Semakin lama, aku semakin benci kepada ayah, dan semakin menyukai ayahku yang baru. Bisa dibilang, ayah baruku tergolong mampu. Dia bahkan mempunyai mobil. Namun aku sadar sekarang, dirku yang kecil sangat berfikiran egois, materialistis, dan tidak tahu diri pada saat itu.

Hingga datanglah siang itu...

Ayahku menjemputku...

"Nak?! Tolong bukakan pintunya nak..." Dia mengetuk pintu, dan, mereka berdua (Ibu dan ayahku), mereka hanya berkata sepatah kata, ayahku izin menjemput, ibuku memberi izin. Tidak ada kesan kehangatan lagi diantara mereka. Aku pun dibawa menuju rumah nenek ayahku. Disana, nenek - kakekku yang masih sehat, ikut menanyakan

"Kaka, kalo ayah baru kamu teh baik pisan (banget) gak?"

"Iya, nek. Ayah itu mah baik pisan ke kaka teh, mainannya juga bagus - bagus"

"Ohhh, tapi baikan mana sama ayah kandung kamu?"

"Baikan ayah baru, nek. Ayah mah udah jarang jemput kaka lagi, udah jahat ke kaka teh."

Aku belum mengerti maksud ayah yang tak kunjung menjemputku saat itu, yang kutahu hanyalah ia jahat. Ayahku tidak marah, bahkan tidak berkutik sepatah kata apapun. Namun hari itu panjaaangg sekali rasanya. Hingga pada suatu malam...

'Bruuss!!!' Hujan deras sementara aku sedang dibonceng ayahku, naik motor seperti biasanya. Ayahku pun menepi sejenak.

"Ayah, hujannya deras banget ya yah?"

"Iya nak, sini, ayah bawa kamu berteduh dulu"

"Oke!"

Saat itu, dikala guyuran hujan membasahi tubuh aku dan ayahku, ku dengar isak-tangisnya yang perlahan merintih...
Kali ini sudah tiada lagi tawa, sungguh aku baru mengerti mengapa dia melakukan itu semua.

"Nak? Ayah mau berbincang denganmu" Ucap ayahku, ku dengar nada suaranya tidak teratur, bergetar.

"Emangnya ada apa yah?" Sungguh bocah polos, aku belum mengerti apa yang akan terjadi.

"Ayah cuman mau bilang, ayah sayang kamu nak. Bukan berarti kita tidak akan memiliki waktu berdua lagi, bukan berarti ayah tidak sayang ke kamu, nak" Kini suaranya merintih, makin bergetar. Orang lain bersikap seperti tidak ada apa - apa disekitarnya.

"Tapi kenapa ayah tinggalin kaka? Kaka teh kan kangen... Malah ayah tinggalin" Protesku, dengan nada datar.

"Serius, nak. Ayah ga pernah ada keinginan untuk meninggalkan kaka. Tapi kan kaka tahu sendiri, ibu teh udah punya lelaki yang jauh lebih kaya, baik, dan mampu dari ayah. Lihat... Ayah saja masih pinjam motor kakek" Aku mulai sedih pula mendengarnya.

"Tapi nak, satu yang perlu kamu sampaikan, ke dirimu dan ibu kamu. Seandainya kita tidak bisa memiliki waktu dan hubungan sebagai sepasang ayah -  anak pada umumnya... Ayah ingin kaka tahu, bahwa ayah sayang kamu dan ibumu. Bahwa ayah menyesal dan meminta maaf atas segalanya. Ayah berbuat tidak baik terhadap kalian berdua. Ayah sudah menjadi seorang ayah yang tidak becus, tidak mampu mencukupi kebutuhan anaknya dan istrinya. Ayah..." Pertama kali aku dengar tangisannya, aku pun tahu maksud ayah.

"Ayah sayang kamu. Meski kita dipisahkan oleh apapun itu, ingatlah ayah, jadilah anak yang berbakti, jagalah ibumu. Karena kamu, kamu anak satu - satunya ayah, setelah kakakmu, Arya Fadhillah, meninggal saat lahir. Ayah janji, selama tidak ada kamu, ayah akan menjadi lelaki yang baik, yang mampu, yang kaya, sehingga kamu dapat meminta apapun... APAAAPUUNN yang kamu inginkan" Aku menyesal mendengar bahwa aku akan berpisah dengannya, dan bahwa aku pernah punya seorang kakak.

"Ayah? Ayah mau ninggalin kaka? Yah! Ayah kenapa? Ayah kenapa nangis gitu? Ayah harus bareng sama kaka terus yah..." Kali ini, akhirnya aku sadar semua yang dia bicarakan. Aku menangis dan menjerit, memeluk dan memukulnya.

"Pesan terakhir ayah nak, jadilah kebanggaan ibu kamu. Selalu inget ayah, ya? Jangan lupain ayah, sejelek - jelek gini teh, ayah kamu ya tetap ayah kamu, hahahaha" Aku termenung, aku terdiam, aku diantar pulang dan dipeluk erat... Untuk terakhir kalinya pada malam itu. Ku lihat dari depan rumah, sebuah motor yang dikemudikan lelaki kurus, pergi menjauh... Tak akan kembali lagi, tak akan ada yang mengatakan 'Bukakan pintu demi ayah, nak!'. Yang kurasakan... Aku membenci semuanya! Ayah baru, ibu, dan aku melampiaskannya, kepada ibuku.

"Aaaaarrggg!!!! Ibu jahat! Ibu jahat! Ibu tidak sayang ayah dan kaka! Pergi sana bersama ayah baru! PEERGIII!!! Kaka benci ibu! Kaka benci ibuu!!!" Aku berbalik membenci ibuku, berkata yang tidak sepantasnya. Ibuku hanya menahan pukulan seorang anaknya yang mungkin tidak akan bertemu seorang ayah kandungnya lagi.

"Gara - gara ibu! Gara gara ibu ayah pergi! Ayah pergi, bu! Ibu mah jahat banget! Kaka sangat benci ibu! Kaka benci!!!"

Aku sangat ingin bersama ayah. Tidak peduli tanpa atau dengan mainan, ayahku adalah yang terhebat! Dialah yang selalu aku rindukan. Dan itu semua membuatku merasa benci ketika anak lain dengan lemah dan cengengnya meminta banyak kepada ayahnya.

Bahkan, tidak banyak ayah yang ditelantarkan anaknya

Aku sayang Ayah... Ayah... dan Ayah
Tapi,..
Ayah dimanaa?

A Broken Homed BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang