Barcelona, Autumn 2015-Choi Myung Soo-
Kota yang mendapat julukan sebagai kota bangsawan ini selalu membuatku jatuh hati, dengan latar belakang yang hangat dari warna merah cerah, kuning, dan orange jeruk. Ditemani alunan musik klasik yang terdengar lembut pada gendang telinga. Aku menyesap sisa teh di cangkir hingga tandas, lantas beranjak dari kursi yang sejak pagi menjadi persinggahanku.Sejenak aku mengamati jalan berbatu di area Gothic Quarter yang padat menjelang senja. Pejalan kaki nampak seperti tak ada hentinya berlalu lalang, menyusuri tiap jalan setapak yang diapit bangunan berdinding kuno peninggalan jaman romawi. Lampu-lampu jalan yang temaram pun mulai menyala. Membuat sisi gelap pada orang-orang yang terkena pantulan cahaya, lalu lenyap seraya orang-orang itu berjalan menjauh.
Aku mengambil kunci mobil di meja, lalu mengemas kamera yang akan kubawa. Aroma musim gugur menguar saat aku membuka pintu.
Dengan langkah jenjang aku menuju mobil yang sengaja kuparkir di halaman depan. Setelah menyalakan mesin, kakiku menekan pedal gas yang langsung membawaku menembus hiruk pikuk Gothic Quarter yang elegan dengan arsitektur bangunannya.
Mobilku berhenti di pelataran sebuah club mewah di daerah Tuset Street. Ini adalah kali pertamanya, walau sudah cukup lama aku menetap di kota ini. Aku sedikit takjub melihat perpaduan gaya gothic dan chic yang nampak pada bagian depan club. Suasana di tempat ini sudah cukup ramai walau tengah malam masih sekitar lima jam lagi. Aku langsung menaiki tangga yang berada tepat di sebelah kiri pintu masuk, lalu memilih tempat duduk di dekat balkon. Aku mengeluarkan Canon 5D mark III dari dalam tas, kemudian melepas penutup lensanya.
"Myung Soo-ya!" Mataku mengalihkan pandangan ke sumber suara tersebut.
Senyumku mengembang seketika. "Min Jae," aku bergumam, meletakkan kameraku di meja lalu berdiri menyambutnya dengan pelukan.
Ia mengambil tempat di sofa yang berhadapan denganku, kemudian tanpa ragu ia menuangkan anggur ke dalam gelas yang disediakan pelayan.
"Kau tidak minum? Mari kita bersulang!" ucapnya sembari mengangkat sebelah alisnya, lalu menuangkan segelas anggur lagi dan menyodorkannya padaku.Tanganku meraih gelas itu, menyetujui ajakannya untuk bersulang. Jujur saja aku memang tak begitu menyukai sejenis anggur atau apapun yang mengandung tinggi alkohol.
Aku melihat Min Jae yang menegak habis anggur di gelasnya, sementara aku hanya menyesap sedikit lantas meletakkannya kembali di atas meja. "Bagaimana kabar ayahmu?" Min Jae membuka suara.
Aku menghempaskan punggungku ke sandaran sofa, lalu menghembuskan napas berat. "Kau bahkan tidak menanyakan kabar sahabatmu?"
Min Jae mencondongkan tubuhnya ke arahku, matanya memicing seperti sedang meneliti sesuatu. "Apa kau ingin aku bertanya untuk memastikan?" Ia tersenyum simpul, lalu mengembalikan posisi duduknya.
"Ayahku baik-baik saja." Jawabku apa adanya.
"Sejak kapan kau menetap di sini?" keningnya berkerut samar. "Kau tampak tak banyak berubah sejak tahun terakhir sekolah menengah atas."
Aku mencoba mengingat-ingat kapan aku mulai menginjakkan kakiku di kota ini. "Sejak dua tahun yang lalu." Min Jae mengangguk-angguk mengerti.
Tak ada yang membuka suara setelah itu, hingga Min Jae meraih kamera yang kuletakkan di atas meja. "Rupanya kau masih melakukan hobi itu?" tanya Min Jae lebih pada memastikan. "Aku akan melihat objek-objek yang berhasil menarik perhatianmu." Untuk beberapa saat ia nampak serius menatap layar sembari menekan tombol.
"Kenapa aku selalu melihat objek yang sama?" Matanya beralih menatapku tak mengerti, kemudian mengarahkan layar kamera kepadaku.
Mataku melebar, aku menelan ludah perlahan. Detik jam terasa berhenti, deru musik yang menggema di seluruh ruangan pun menjadi samar. Aku menundukkan kepala mencoba mengatur pikiranku. "Nampaknya aku salah memasukkan kartu memori," aku menyodorkan sebuah kartu memori lain kepadanya. "Kau perlu lihat yang ini."
Min Jae tidak berkomentar dan menuruti perkataanku, namun dibalik sikapnya itu ia pasti menyimpan sesuatu di dalam pikirannya. Aku sangat mengenalnya, dan aku pikir ia juga sebaliknya.
Ia berhenti menekan tombol, mungkin merasa jika kuperhatikan sedari tadi. "Memang sangat sulit untuk melupakan objek yang mampu membuat kita jatuh hati, bahkan untuk sekedar berpaling. Tapi suatu saat nanti kau akan menemukan objek yang mampu membuatmu bukan sekedar jatuh hati, namun juga menyembuhkan luka di hati." Ucap Min Jae tanpa memandangku, seolah ia berbicara pada gambar di dalam layar kamera.
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kalimatnya. "Apa yang membuatmu datang ke sini?" tanyaku bermaksud mengabaikan kalimat terakhirnya.
Min Jae meletakkan kameraku di meja, lalu menegak anggur yang tersisa di gelasnya hingga tandas. "Aku hanya mengambil alih sementara galeri milik ayahku di sini, karena beliau harus mengurus bisnis barunya di Amerika."
"Ayahku juga sedang mengerjakan bisnisnya di Amerika, mungkinkah mereka bekerja sama?" ucapku lalu tertawa kecil.
"Aku memikirkan hal itu juga. Mungkin akan menjadi berita baik jika benar terjadi," Balas Min Jae diikuti tawanya. "Lalu apa saja yang kau lakukan selama dua tahun ini?"
"Aku harus menyelasaikan studi management dan seni, dalam waktu dekat ini aku harus kembali." Aku tidak pernah berpikir akan begitu cepat, mungkin akan lebih baik jika tinggal di sini selama sisa hidupku.
Min Jae nampak sedikit tak percaya mendengar jawabanku. "Pantas saja wajah dan kulitmu benar-benar terlihat buruk," dahinya berkerut dan matanya sedikit memicing. "Aku menyarankan padamu untuk menjalani operasi plastik setibanya di Seoul."
Aku meraba wajahku dengan kedua telapak tangan, kemudian melihat kulit punggung tanganku bergantian. "Benarkah? Aku pikir ini hanya efek penerangan."
"Aku tahu beberapa dokter operasi plastik professional, aku akan memberitahu kepadamu jika kau benar-benar akan melakukannya." Min Jae berbicara dengan nada yang serius sekaligus prihatin. "Mengapa disaat aku baru saja datang kau harus pergi?" lanjutnya sembari memejamkan mata dan bersandar pada sofa.
Aku tersenyum kecil mendengar ucapannya. "Pergilah ke bawah, sepertinya kau butuh bersenang-senang."
Min Jae membuka matanya dan tertawa meremehkan " Harusnya aku yang mengatakan itu padamu, sobat," ucapnya lalu menaikkan sebelah alisnya. "Apa kau sudah pergi berkencan?"
Aku menghela napas panjang. "Ada banyak hal yang harus kupikirkan, aku terlalu sibuk untuk hal seperti itu."
"Jangan terlalu lama bersembunyi, diluar banyak hal yang telah berubah. Kau perlu melihatnya lebih dekat. Aku yakin takdir akan mengembalikan waktu," Min Jae beranjak dari tempat duduknya. "Datanglah ke grand opening galeriku besok malam jika kau tidak sibuk, aku akan mengirim alamatnya."
"Akan kupertimbangkan." Ucapku. Ia menepuk sebelah pundakku, sebelum berjalan menuju lantai dasar.
Aku melihat Min Jae bergabung dengan beberapa wanita di tengah kerumunan yang menikmati musik sambil menggoyangkan tubuh. Tertawa, layaknya tak ada beban pada hidup mereka. Andai dengan begitu aku dapat melepaskan seluruh beban di hidupku, mungkin aku telah bersenang-senang dan tak menjadi pengecut seperti ini. Namun apa yang dapat kulakukan? Kata 'bahagia' bahkan sangat tabu bagiku.
***
Hai readers, makasih yang udah sempat membaca, sekaligus voment di cerita pertamaku yang masih abal ini. Mohon kritik dan sarannya yaa :)
25 Mei 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewind [On Editing]
Romance[WATTYS AWARD 2016 KATEGORI PENDATANG BARU] If we can rewind time. You and I never meant to be us. Cover by @oldmixtape