-Kim Sae Ra-
Aku menuangkan beberapa warna cat pada pallet, setelah itu tanganku sibuk mencari kuas yang cocok untuk lukisanku kali ini. Aku menghentikan kesibukanku sejenak untuk berpikir. Apa yang akan kulukis? Pertanyaan itu muncul seketika di pikiranku.Aku menghembuskan napas. Pandanganku beralih pada daun-daun berguguran yang nampak dari kaca. Aku beranjak mendekati jendela untuk melihatnya lebih dekat. Itu indah.
Angin menerobos masuk saat aku membuka jendela, membuat rambut yang kubiarkan terurai bergerak mengikuti arah angin.
Aku kembali duduk di depan kanvas dan mulai menorehkan warna di permukaannya. Aku rasa ini akan jadi lukisan yang bagus di musim gugur.
Aku suka melukis, sangat. Aku pikir aku dapat menuangkan perasaanku pada warna-warna itu. Namun hari-hariku di kota ini tak hanya tentang lukisan. Ya, karena aku memang datang ke sini bukan untuk mendalami bakatku. Hanya terkadang. Oh mungkin tidak, ini sama sekali tidak sebanding dengan kegiatanku yang lain.
Sebenarnya aku sedang dalam masa hukuman. Kedua orangtuaku sepakat mengirimku ke Barcelona karena aku menyebabkan masalah bagi mereka. Akan kuceritakan.
Aku baru saja kembali ke Seoul untuk berlibur setelah hari kelulusan sekolah menengah atasku di New York, lalu mereka memutuskan agar aku tidak melanjutkan sekolahku di New York dan menetap di Seoul dengan alasan aku hanya menghamburkan uang dan tidak memperdulikan sekolahku. Baiklah, aku memang menghabiskan banyak uang, namun aku sangat bersungguh-sungguh dengan sekolahku. Jika tidak, bagaimana mungkin aku dapat masuk 10 besar nilai terbaik saat kelulusan? Aku tahu semua keputusan ini hanya perkara uang.
Setelah setengah tahun aku melanjutkan studi managementku di Seoul aku berkencan dengan seniorku. Ia juga mengambil studi yang sama denganku jadi kami sering bertemu. Sebelumnya aku belum pernah memiliki hubungan seperti ini, jadi kupikir ia adalah cinta pertamaku. Terlepas dari itu semua sebenarnya aku tak begitu tahu menahu tentang latar belakangnya, karena ia tak pernah bercerita terlalu dalam tentang kehidupan pribadinya. Mungkin itu tidak menjadi masalah bagiku, selagi ia memperlakukanku dengan baik, bahkan sangat baik.
Aku berkencan. Itulah alasan mengapa aku dihukum. Terdengar sangat kolot memang, namun itu adalah aturan yang dibuat oleh ibuku dan aku melanggarnya.
Awalnya aku tak menerima hukuman atau keputusan konyol itu. Namun, setelah aku berpikir kembali, ini adalah kesempatan bagiku untuk tidak berkutat dengan Seoul yang membosankan.Bagiku ini tidak benar-benar hukuman yang membuatku menderita, ini menyenangkan. Aku tinggal jauh dari kedua orangtuaku, itu berarti sangat banyak. Aku bebas, aku dapat kemana pun sesuka hatiku. Walaupun ini bukan New York, tapi Barcelona bukan suatu hal yang buruk untuk sebuah 'hukuman'.
Beruntungnya kekasihku juga menyusul ke Barcelona dua minggu setelah ia melaksanakan wisuda kejuruannya untuk mengambil alih galeri lukisan milik Pamannya.
Ponselku berdering, sontak aku meletakkan pallet dan kuasku ke atas meja. Aku segera mengambil benda itu dan melihat nama yang tercantum di layar. "Yeoboseyo?" aku tersenyum setelah mengatakannya.
***
Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku, lantas mendengus kesal. Sudah dua jam lebih aku duduk di tempat ini 'sendirian'. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar tempat ini.Di antara banyak orang yang tengah bersenang-senang, mengobrol, menikmati musik, bersulang, menari-nari dan berdansa, mengapa hanya aku yang sendiri dan tak melakukan apapun?
Ada banyak hal menyenangkan, namun mengapa aku harus tetap menunggu?Ini benar-benar tidak adil.
Berulang kali aku membuka pengunci layar ponselku dan berharap ada satu pesan atau panggilan yang memberiku kabar. Namun nihil, aku tak mendapat kabar apapun.
Aku menyandarkan punggungku di sofa lalu bersedekap, kemudian membuka pengunci layar ponselku untuk yang kesekian kalinya. Ibu jariku menekan nomor satu lalu menempelkan benda itu ke telingaku, beberapa detik kemudian panggilanku tersambung.
"Kau dimana?" tanyaku tanpa basa-basi. Tak ada jawaban dari seberang telepon.
"Apa kau melupakan janjimu?" lanjutku. Apa ia tidak akan datang hari ini? Apa ini berarti ia mengingkari janjinya untuk yang kesekian kalinya? Oh-rasanya aku sudah muak dengan semua ini.
"Jawablah, kenapa diam saja?" aku menurunkan ponselku dari telinga dan mendapati layarnya tidak menyala. Sial.
Aku memasukkan benda itu ke dalam clutch, lalu menghembuskan napas kasar. Tanganku melambai pada seorang pelayan wanita yang membawakan minuman untuk pelanggan mereka. Wanita itu pun menghampiriku kemudian memberi senyum ramah.
"Por favor dame una botella Grey Goose (Tolong berikan aku sebotol Grey Goose)" ucapku pada pelayan wanita yang beridiri di sampingku.
"De acuerdo, espera un minuto (Baiklah, tunggu sebentar)" balas pelayan itu lembut, lalu berjalan menuju bar tender di sudut ruangan.
"Maaf aku terlambat, harusnya kau pulang saja jika menungguku terlalu lama." Aku terkejut, seorang laki-laki tiba-tiba datang dan duduk pada sofa di hadapanku.
"Apa menurutmu aku bisa pulang setelah menunggu lama tanpa kabar apapun darimu?" aku mencoba tetap tenang walaupun nada bicaraku sudah tak bisa kutahan lagi.
"Aku menghubungimu setelah kau menelponku, tapi ponselmu tidak aktif kukira kau sudah pulang," ucapnya.
Demi Tuhan, aku sudah tidak tahan untuk tidak menyiram wajahnya."Jadi jika aku tidak menelponmu kau tak akan memberi kabar padaku?"
"Kau tahu aku sangat sibuk. Lagipula sekarang aku sudah ada di sini, jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan bukan?" ia berkata seolah aku seorang anak-anak yang sedang menunggu giliran mendapatkan es krim, dan sekarang aku telah mendapat es krimku artinya aku harus tersenyum dan senang. Begitukah?
"Aku harus pergi setelah ini. Boleh aku pinjam kartu kreditmu? Tagihannya akan kubayar nanti." Aku tak meng-iyakan, namun tiba-tiba ia sudah mengambil kartu kredit juga uangku dari dalam clutch.
Kedua tanganku mengepal. Aku meraih segelas air yang ada di hadapanku dan memegangnya kuat-kuat. Aku tahu gelas ini akan pecah jika aku memberikan tekanan sedikit lagi.
"Apa yang kau lakukan? Ha!" gelas itu kosong, aku telah menyiramkan air itu pada bajingan yang duduk di hadapanku. Napasku terasa berat, aku meletekkan gelas itu ke meja. Lebih tepatnya membanting gelas itu hingga pecah menjadi serpihan-serpihan kecil.
Ia menatapku tajam lalu berjalan ke arahku. Aku terkejut sekaligus tak percaya dengan apa yang baru saja kuperbuat. Ia duduk di sebelahku lalu menarik rambutku. "Apa kau sadar apa yang telah kau lakukan?" ia berbisik di telingaku. "Kau akan segera menyesali perbuatanmu."Ia menarik rambutku lebih kencang dan menghempaskan tubuhku ke sofa.
Aku menahan pergelangan tangannya, sontak ia memalingkan wajah dan menatapku penuh amarah. "Apa yang kau inginkan hanya uangku?" setetes air berhasil lolos dari mataku. Ia memalingkan wajahnya lagi lalu berjalan menyeretku. Aku semakin memperarat genggamanku namun kekuatan tangannya mampu membuatku terdorong tak berdaya. Punggungku membentur meja hingga membuat meja itu berantakan.
Aku berusaha menahan tubuhku dengan kedua tangan saat terjatuh di lantai. Air mataku terus mengalir. Aku menahan sakit yang tiba-tiba kurasakan di telapak tangan dan juga punggungku. Oh, aku baru menyadari jika telapak tanganku terluka. Apa sekarang kepalaku juga terluka? Ini terasa berat dan berdenyut-denyut.
"Han Yeong... Kajima... (Jangan pergi)" ucapku lirih.
Aku tak tahu apakah ini adalah akhir dari hubungan kita.Apa yang membuatmu menjadi seperti ini? Apa ini hanya kebodohanku yang tak menyadari dirimu yang sebenarnya? Atau kau hanya melampiaskan kekesalanmu padaku dan besok pasti kau akan meminta maaf? Ya aku yakin besok kau akan kembali seperti dulu, seperti saat awal kita bertemu.
***
Hallo pembaca setia Rewind :) hari ini aku update nih dengan POV baru hehehe.. Yups, di cerita aku ini bakalan ada 2 POV, gimana menurut kalian? Aku harap kalian suka ya sama update-an aku ini ❤ Buat yang mau kasih kritik dan saran silahkan coment atau dm aku :)
3 Juni 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewind [On Editing]
Romance[WATTYS AWARD 2016 KATEGORI PENDATANG BARU] If we can rewind time. You and I never meant to be us. Cover by @oldmixtape