Prolog

2.6K 197 45
                                    

Seoul, Autumn 2012

Mataku terfokus pada rentetan kalimat pada dokumen yang rencananya akan kupresentasikan esok. Aku melirik pada setumpuk dokumen di meja yang seketika membuat kepalaku pening. Seminggu lagi, aku akan menemani ayahku untuk menghadiri pameran seni, jadi mau tak mau aku harus mempelajari dokumen tentang lukisan - lukisan yang akan ditampilkan di sana. Bukan perkara sulit, namun cukup menguras pikiran sekaligus tenaga.

Punggungku terhempas ke sandaran kursi, mataku terpejam. Banyak pikiran yang menggangguku akhir-akhir ini. Tuntutan pekerjaan, dan suatu perasaan lain yang selalu terselip begitu saja.

Aku teringat sesuatu, lantas mataku terbuka lebar dan melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul tujuh malam. Mungkin ini saat yang tepat.

Tanpa berpikir panjang tanganku membuka laci pada meja kerja, kemudian meraih sebuah kotak kecil di dalamnya. Bibirku menyunggingkan senyum simpul.

Aku beranjak dari ruangan yang mulai terasa pengap. Kakiku melangkah cepat menyusuri lorong yang menghubungkan loby dengan ruang kerja pribadiku.

Laju mobilku melamban, ekor mataku melirik kotak itu, lagi. Dan untuk kesekian kalinya membuat senyumku kembali mengembang. Aku mendekatkan ponsel ke telinga. Tak lama kemudian terdengar nada sambung.

"Yeoboseo?(halo?)" suara itu yang mampu membangunkanku dari segala mimpi buruk.

Kebetulan sekali aku melihatnya keluar dari swalayan di seberang studio, rambut hitamnya yang kecoklatan sedikit bersinar terkena cahaya khas lampu jalan yang temaram. "Kenapa pergi ke studio tanpa mengajakku?"

"Kau ada dimana?" tanyanya. Langkahnya terhenti setelah mendengar klakson mobil yang sengaja kubunyikan sebagai tanda 'aku di sini' sebelum mematikan mesin. Ia membungkukkan tubuhnya untuk melihatku yang masih duduk di kursi kemudi. Ia tersenyum padaku, dan aku balas tersenyum padanya.

Sorot cahaya amat terang datang dari arah berlawanan hingga menyilaukan penglihatanku, reflek mataku terpejam, dan punggung tanganku berada tepat di depan mata mencoba menghalau cahaya yang seperti akan menusukku.

Sepersekian detik kemudian terdengar benturan keras. Mataku terbuka perlahan, sebuah mobil dari arah berlawanan melaju dengan kencang. Aku keluar dari mobil, namun tak mendapatinya. Terlihat seorang sopir taksi berlari menyebrang jalan, diikuti tiga orang karyawan berlari keluar dari swalayan.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu menoleh kebelakang, namun aku tetap tak mendapatinya. "Ji An..." gumamku nyaris tak terdengar.

Tiba-tiba aku berlari entah mendapat dorongan darimana mengikuti tiga karyawan yang ternyata berhenti tak jauh dari swalayan.

Lututku terhempas ke jalan beraspal menopang tubuhku. Sebelah tanganku mengangkat tengkuknya. Mata indahnya terpejam. Ada bercak cairan merah di dahinya. Katakan jika ini lelucon. Katakan jika ini tidak nyata. Siapapun tolong sadarkan aku dari
mimpi buruk ini.

"Ji An," aku mencoba membangunkannya.
"Ji An buka matamu!" aku mengguncang tubuhnya, namun tetap tak ada respon. Mataku memanas, pandanganku mengabur karena air yang keluar dari pelupuk mataku. Membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi padanya.

"Apa yang kalian lakukan?!" ucapku dengan nada yang meninggi pada orang-orang yang ikut berkerumun. "Kenapa kalian diam saja? Cepat panggil ambulans!" setelah mendengar ucapan yang lebih pada teriakan itu, seorang karyawan langsung mengeluarkan ponselnya dan menekan tombol dengan tergesa.

Aku kembali melihatnya, kelopak matanya terbuka perlahan. Matanya yang sayu menatapku
sendu. Ia menyunggingkan senyum yang selalu kusukai.
"Bertahanlah sebentar, ambulans akan segera datang." Ucapku masih tak percaya dengan kejadian ini.

"Oppa..." telapak tangannya menyentuh pipiku.

"Wae Geurae?(ada apa?)" Tanyaku dengan penuh kekhawatiran. Telapak tangannya terasa begitu dingin saat aku menggenggamnya.

"Sa-e-ngil - chuk-hae(selamat ulang tahun)" ucapnya dengan terbata - bata lalu tersenyum tipis. Setelah mengatakan itu matanya tertutup perlahan.

Napasku tercekat. Butiran-butiran bening berjatuhan dari pelupuk mataku. Aku mendekapnya erat, mencoba memberinya kekuatan. Lidahku kelu walau hanya untuk menyebut namanya. Duniaku terasa berhenti saat itu juga. Gelap. Dingin. Mimpi buruk itu menjadi nyata. Apakah ini adalah bagian dari takdirku?
Jika iya, mengapa takdir begitu kejam padaku?

Rewind [On Editing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang