Di Balik Salju: Awal Kisah

33.5K 1.4K 35
                                    

Pertemuan kami pada saat itu seharusnya tak pernah terjadi. Siapa yang menduga, pria yang mengklaim diri sebagai penyendiri ternyata menyimpan makhluk buas di dalam jiwanya. Andai waktu bisa diputar kembali, aku berharap kau tak pernah hadir dalam hidupku. Namun, aku kini menyadari bahwa jalan yang kujalani membawa aku pada sesuatu yang tak terduga.

Konoha, Desember 2005

Musim dingin di akhir tahun ini terasa sangat berat. Tak ada sinar matahari yang mampu menembus awan kelabu. Suara anak-anak yang biasanya riang bermain salju kini digantikan oleh desingan angin yang menembus keheningan, menyisakan hanya suara decitan besi. Rumah-rumah yang biasanya cerah dan berwarna-warni kini tertutup salju tebal yang membekukan siapa pun yang berusaha menyingkirkannya.

Di tepi kota, sebuah mobil Ford hitam melaju pelan. Catnya yang mulai mengelupas menandakan usia kendaraan yang tak lagi muda. Meskipun keempat ban terpasang rantai, mobil itu tampak kesulitan menembus tumpukan salju yang bertebal-tebal di sepanjang jalan.

Meskipun cuaca suram, mata sapphire biru di dalam mobil itu bersinar cerah. Bocah bernama Naruto tak henti-hentinya mengagumi deretan rumah yang mereka lewati. Senyumannya tak pernah pudar, meskipun pria tua di sampingnya hanya mendengus lelah.

"Paman, apakah kita sudah sampai?" tanya Naruto untuk kesekian kalinya. Pria tua itu menatapnya dengan ekspresi sedikit kesal, mengulang jawaban yang baru diberikan sepuluh menit sebelumnya. "Bukankah sudah ku bilang sebentar lagi, Naruto?"

Tak puas dengan jawaban itu, Naruto kembali menatap keluar jendela, sementara pria tua berambut putih panjang itu berusaha memejamkan mata, mengingat kembali peristiwa yang baru saja terjadi.

"Tak bisakah aku menggantikannya? Aku tak mau membuatnya menanggung semua ini?" seru seorang pria berambut kuning, berusaha memohon kepada si pria tua. "Aku mohon, Jiraiya-sama, lepaskan Naruto dan biarlah aku yang menanggung semuanya."

Jiraiya hanya terdiam. "Aku tahu ini berat, Nagato, tapi ini sudah menjadi perjanjianmu dengan keluarga Uchiha untuk mengambil salah satu anakmu sebagai budak di sana," katanya, menatap penuh iba pada Nagato yang masih bersimpuh di depannya.

"Kau tahu seharusnya Kyuubi yang harus kubawa. Tapi anakmu justru menghilang. Terpaksa aku membawa Naruto bersamaku."

"Namun...."

"Ayo, Naruto, ikut denganku." Jiraiya menarik tangan bocah yang baru berusia delapan tahun itu menuju mobil yang terparkir di depan rumah.

"Kita mau ke mana, paman? Kenapa kau menarikku?" bisik Naruto ketakutan.

"Kau tahu, bocah, jika kau ikut denganku, hutang kaa-san dan tou-sanmu akan lunas. Dan kakakmu bisa pulang," jawab Jiraiya.

"Benarkah nii-san akan pulang?"

"Makanya, ikutlah denganku."

Naruto memandang wajah sang ayah sejenak, seolah mencari jawaban di sana, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Jiraiya. "Jika itu membuat keluargaku bahagia, aku akan ikut denganmu, paman."

Mobil itu perlahan meninggalkan rumah. Samar-samar, terdengar suara teriakan ayahnya memanggil nama sang anak, dan dari kaca samping, ia melihat ibunya, Kushina Uzumaki, menangis keras di samping sang suami.

"Ma...ma...maan...pamaaan," suara kecil itu memanggilnya, membawa Naruto kembali ke realitas.

"Apa?" tanyanya, menatap si bocah dengan kesal. Namun, Naruto hanya tersenyum lebar. "Kata pak sopir, kita sudah sampai, paman."

Dan benar saja, Ford hitam itu berhenti tepat di depan gerbang sebuah rumah besar bergaya Eropa kuno, dengan patung Gregory kokoh di ujung atap. Warna putih pucat yang dipadukan dengan hitam memberi kesan gelap pada bangunan itu.

Rumah yang terletak di ujung bukit Konoha ini lebih tepat disebut kastil. Ukurannya yang sangat besar dengan halaman seluas 12 hektar membuat siapa pun yang hendak melarikan diri akan tersesat. Pemandangan pohon pinus dan bambu di jalan masuk menambah kemisteriusan tempat itu, dan butuh waktu 20 menit untuk sampai di depan rumah.

Pintu rumah setinggi 15 meter itu terbuka otomatis ketika Jiraiya dan Naruto berdiri di depannya. Pemandangan di dalam rumah terlihat berkali lipat lebih mewah. Dominasi warna emas di setiap sudut membuat siapa pun yang melihatnya terpesona.

Mulut Naruto sedikit menganga, takjub dengan pemandangan di depannya, sampai ia tak sadar bahwa seorang pria bersurai hitam sedang berjalan ke arah mereka.

"Jadi inikah anak si Namikaze itu?" suara rendah bariton memecah imajinasi Naruto, memaksanya mencari asal suara itu.

"Benar, Fugaku-sama. Dia anak kedua dari keluarga Namikaze. Sebenarnya, saya ingin membawa anak tertuanya, tapi dia kabur. Terpaksa saya bawa bocah ini," ucap Jiraiya dengan sedikit ketakutan.

"HAHAHAHAHAHA...." Tawa Fugaku menggema, mengubah suasana menjadi menakutkan. "Aku tak peduli siapa yang kau bawa, Jiraiya. Asalkan dia bagian dari Namikaze, itu sudah cukup membuatku senang." Wajah yang tadinya datar kini menyeringai.

Dengan langkah gontai, Fugaku mendekati Naruto, menatapnya dengan tajam. "Kau tahu, bocah, kau mirip dengan ayahmu. Aku suka."

"Arigatou, paman," kata Naruto sambil tersenyum, tanpa menyadari maksud di balik kata-kata Fugaku.

"Bocah, ikut denganku," perintah Fugaku, dan Naruto mengikuti tanpa tahu niat buruk yang tersimpan di balik senyuman itu. Namun, sebelum mereka melangkah jauh, Fugaku berbalik dan memberi instruksi kepada Jiraiya untuk pergi.

Beberapa lorong dan pintu dilewati dua pria dengan usia yang berbeda, hingga akhirnya mereka tiba di depan ruang keluarga.

"Pelayan! Panggil semua orang di rumah ini!" perintah Fugaku. Tak lama kemudian, seorang wanita berambut hitam panjang dan seorang remaja dengan tanda lahir di hidungnya masuk.

"Itachi, di mana adikmu?" tanya Fugaku pada anak pertamanya.

"Sasuke ada di kebun belakang. Sedang latihan memanah. Mungkin sebentar lagi."

"Baiklah. Aku akan memperkenalkan bocah ini. Namanya Uzumaki Naruto, anak dari keluarga Namikaze, dan sekarang dia akan bekerja sebagai pelayan di rumah ini," kata Fugaku, diiringi anggukan kepala dari anak dan istrinya.

"Isaka...." teriak Fugaku memanggil kepala pelayan.

Seorang perempuan berambut sebahu, mengenakan seragam maid, segera datang. "Bawa bocah ini dan ajari dia untuk bekerja di sini."

"Baik, Uchiha-sama," jawab Isaka, dan ia menarik tangan Naruto untuk mengikutinya.

Namun, saat hendak membuka pintu, pintu itu terbuka tanpa sengaja, dan Naruto terjungkal jatuh. Ia mengusap bagian belakang kepalanya yang sakit akibat terantuk lantai.

"Aduduh, sakit," keluhnya.

"Kau baik-baik saja?" suara bariton terdengar di telinga Naruto, membuatnya mendongak. Seperti aliran listrik, kedua mata itu saling bertemu—onyx hitam dan sapphire biru, seolah waktu berjalan lambat, mengikat mereka dalam pandangan yang tak terduga.

"Naruto, kau baik-baik saja?" Suara Isaka memecahkan lamunan mereka.

"Aku baik-baik sa..." jawab Naruto terkejut oleh tarikan tangan bocah yang baru menabraknya.

"Maafkan saya, Sasuke-sama," ucap Isaka, dibalas tatapan tak peduli dari Sasuke. Ia mengalihkan perhatian pada bocah yang baru ditabraknya.

"Hn...hei, kau, siapa namamu?" tanya Sasuke.

"Uzumaki Naruto," jawab Naruto dengan senyum.

Sasuke hanya diam, membalikkan tubuhnya, dan meninggalkan ruangan. Kebingungan menyelimuti Naruto dan Isaka. Tak ada yang tahu bahwa di balik senyum manisnya, Sasuke menyimpan ekspresi menakutkan yang tak dimiliki bocah kecil manapun di dunia.

Please Untie Me .....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang