Jejak Kebencian

8.5K 595 21
                                    

Sejak ancaman Karin beberapa hari lalu, Naruto terus merasa ketakutan yang mencekam. Dalam pikirannya, bukan sekadar ancaman fisik dari wanita ular itu yang menghantuinya, melainkan ketakutan akan dampak yang mungkin timbul pada sahabat-sahabatnya, khususnya Sasuke. Rasa bersalah dan cemas menyelimuti batinnya, membuatnya terjebak dalam labirin pikiran yang gelap.

Perilaku diam dan murung Naruto tak luput dari pandangan tajam Sasuke. Dia tahu betul apa yang sedang dipikirkan pemuda itu, tapi entah kenapa, dia enggan untuk menanyakan. Seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun kedekatan mereka sudah terjalin sejak lama.

Sasuke hanya bisa memandangi wajah pelayannya yang terus berdiam di sudut kamar, terlihat seperti patung yang kehilangan kehidupan. Sambil mengerjakan tumpukan pekerjaan sekolah dan perusahaan yang tak kunjung usai, hatinya merindukan Naruto yang ceria dan penuh semangat. Dia merasa seolah ada sesuatu yang hilang, dan ketidakberdayaannya untuk membantu Naruto semakin membuatnya frustrasi.

Lelah akan banyaknya pekerjaan mungkin menjadi alasannya. Dia tahu seharusnya menenangkan pelayannya, tetapi untuk berdiri dari kursi saja, dia tak mampu. Rasa lelah bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Sasuke berulang kali menggigit bibir bawahnya, mengusir rasa gelisah yang mengganggu pikirannya.

Sementara itu, Naru, terjebak dalam pikirannya sendiri, melayang ke mana-mana. Gema suara Karin terus terngiang dalam benaknya, menyentuh hati dan merobek kepercayaan dirinya. Betapa sakitnya mendengar kata-kata tajam itu, menghujam seperti pisau yang tak kasat mata. Dia merasa terkurung dalam ketidakpastian, dan rasa takutnya semakin menjadi-jadi.

Kondisi ini terus berlangsung selama beberapa hari. Sampai kemudian, Sasuke yang merasa tak tahan menarik Naruto untuk duduk di pangkuannya. Tarikan itu membuat Naruto tersentak, dan wajahnya memerah, terkejut oleh perhatian tiba-tiba tuannya.

"Bisakah kau jelaskan padaku dengan TERPERINCI tentang apa yang terjadi padamu akhir-akhir ini?" Suara Sasuke terdengar tegas, tetapi di dalamnya, ada nada lembut yang penuh kekhawatiran. Dia melepas kacamata baca yang sedari tadi dipakainya, memperlihatkan kantong tebal di pelupuk matanya. Ekspresi lelahnya mengungkapkan betapa banyaknya beban yang dia pikul.

Karena tak ingin menambah beban tuannya, Naruto hanya tersenyum lemah dan berkata tak apa-apa. Namun, senyumnya tak mampu menyembunyikan kesedihan di balik mata birunya yang berkaca-kaca.

Ucapan itu tentu saja tak langsung dipercayai Sasuke. Dengan gerakan pelan, dia memeluk Naruto lebih erat, menariknya lebih dekat, dan menghirup aroma citrus yang menyegarkan dari tubuh tan itu. Rasa hangat dan aman dalam pelukan Sasuke membuat hati Naruto bergetar, tetapi ketakutannya masih membelenggunya.

"Kau tahu, ekspresi kalutmu itu membuat pekerjaanku benar-benar berantakan. Aku sama sekali tak mampu berkonsentrasi dengan semuanya. Kau membuatku benar-benar berantakan, Naru!" kata Sasuke, suaranya bergetar karena emosi.

"Gomen, Sasuke-san," jawab Naruto dengan nada penuh penyesalan, merasa seperti beban berat yang menindih jiwanya.

"Lalu?" Sasuke menatapnya dalam-dalam, seolah berharap ada cahaya harapan di balik tatapan suram itu.

"...."

"Kau ingin aku memaksamu?" tanya Sasuke, dengan nada yang lebih lembut, tetapi tetap penuh penekanan.

Perlahan, tangan Naruto yang sebelumnya lunglai mulai membalas dekapan Sasuke. Dengan lirih, dia akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan masalah yang sedang dia hadapi.

"Sasuke... Gomen..." suara Naruto nyaris tak terdengar, seperti angin yang berbisik.

"Kenapa kau minta maaf padaku?" Sasuke bertanya, kepedihan di dalam suaranya membuat Naruto merasa tertekan.

Please Untie Me .....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang