Pertempuran di Gudang Tua

6.6K 551 19
                                    

Beberapa minggu berlalu sejak insiden mengerikan itu, dan Karin seolah menghilang dari permukaan bumi. Keberadaannya yang lenyap sedikit banyak membuat Naruto merasa lega. Tanpa bayang-bayang ancaman dari surai merah itu, sekolah yang sebelumnya terasa menegangkan kini tampak lebih ramah. Namun, rasa damai itu hanya bertahan sebentar.

Suatu sore, ketika Naruto duduk di bangku taman sekolah, tiba-tiba dia melihat sosok itu lagi. Surai merah yang dikenalnya, tetapi ada yang berbeda. Tangan kirinya dibalut perban putih yang menyelimuti hampir seluruh lengannya. Ada sesuatu yang tidak beres, dan rasa cemas mulai menyelimuti hatinya.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Kiba, teman sekelasnya, sambil menatap ke arah Karin yang berdiri di kejauhan.

Naruto, terkejut dan bingung, hanya bisa menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu," jawabnya pelan, merasakan jantungnya berdegup cepat.

"Mungkin dia baru saja mendapatkan hukuman dari 'tuannya'. Jadi penampilannya jadi seperti itu," komentar Sakura, senyumnya menyiratkan sesuatu yang tidak ingin diungkapkan.

"'Tuannya?'" Naruto mengulang, merasa semakin bingung. Dia tidak mengerti maksud Sakura.

"Daripada mengurusi perempuan itu, lebih baik kau temani aku pergi ke kafe," ujar Sakura dengan nada menggoda.

"Kafe?" Naruto mengangkat alisnya, sedikit tertarik.

"Ada kafe baru di seberang sekolah. Aku ingin mencobanya, tapi tak ada yang mau menemaniku," jawab Sakura, tampak berharap.

"Kenapa memangnya?" Naruto bertanya, penasaran.

"Karena kafe itu penuh dengan kue manis, dan banyak yang tidak suka," Sakura menjelaskan, seolah menganggapnya hal yang biasa.

Naruto tersenyum mendengar itu.

"Jadi, mau menemaniku?" tanya Sakura, menatapnya dengan harap-harap cemas.

"......"

"Kau tak mau?" tanyanya lagi, sedikit kecewa.

"Sebenarnya, aku mau, tapi aku harus tanya Sasuke dulu," jawab Naruto, berusaha jujur.

"Baiklah, kabari aku sepulang sekolah, ya?" Sakura mengangguk, tampak senang.

"Baiklah..." Naruto tersenyum, meski pikirannya masih terbayang sosok Karin.

Selepas jam istirahat, Naruto dengan cepat beranjak dari kelas, menuju ruang OSIS. Namun, sebelum dia sampai, langkahnya terhenti. Karin, bersama dua pria bertubuh besar, sudah menunggu di depan pintu. Senyumnya, yang dulunya manis, kini terasa sangat menakutkan.

Belum sempat Naruto bereaksi, kedua pria itu menyeretnya jauh dari ruang OSIS. Tubuh Naruto lemah, tidak berdaya melawan. Dia hanya bisa pasrah ketika mereka membawanya menuju gudang belakang sekolah.

Setibanya di sana, tubuh Naruto dihempaskan ke dinding dengan keras. Rasa sakit menyengat di seluruh tubuhnya. Dia terjatuh, memegang lengannya yang mulai memar.

"Dasar pelacur... Kau sudah kukatakan untuk tidak mengungkapkan apapun pada Sasuke," kata Karin dengan suara dingin.

"Apa maksudmu?" Naruto bertanya, kebingungan melanda pikirannya.

"Kau pikir aku tidak tahu? Kau yang memberitahu dia kalau aku menyiksamu," Karin melotot tajam.

"Kalau memang iya, lalu kenapa? Kau pikir aku takut padamu?" Naruto berusaha membalas, berusaha menunjukkan keberaniannya meski ketakutan menyelimuti hatinya.

"OH... Berani melawan, ya? Sudah tidak sayang nyawa?" Karin tertawa sinis.

"Aku tidak takut padamu," Naruto menegaskan.

"HAJAR DIA!!!!!!" perintah Karin dengan suara menggema.

Pukulan demi pukulan datang menghantam tubuh Naruto. Dia berusaha melawan, tetapi tenaganya jauh lebih kecil dibandingkan dua pria besar itu. Setiap pukulan menyakitkan, seolah menghancurkan semangatnya.

Di sisi lain, Karin berdiri menyaksikan dengan senyum puas. Matanya berkilat saat mendengar jeritan Naruto yang memohon ampun.

"Hahahaha... MATI KAU PELACUR! SUDAH SEHARUSNYA KAU MUSNAH DARI DULU!!!" Suara tawa Karin memenuhi ruangan, membuat suasana semakin mencekam.

Namun, suara gaduh tiba-tiba memecah keheningan. "HENTIKAN!!!" Suara tegas itu berasal dari pintu depan yang tiba-tiba hancur.

Karin terkejut dan menoleh. Seorang pemuda bersurai oranye muncul, menatapnya dengan tajam. "Aku baru tahu jika sekretaris OSIS yang terhormat bisa berbuat serendah ini," katanya, nada suaranya penuh tantangan.

"Tahu apa kau? Ini bukan urusanmu! Jika kamu masih menggangguku, kau akan kubuat hancur seperti dia," Karin menunjuk Naruto yang sudah terkapar.

"Coba saja," balas pemuda itu, tidak menunjukkan rasa takut.

"HAJAR DIA!!!!!!" Karin memerintahkan lagi.

Kali ini, kedua pria yang tadinya menghajar Naruto berbalik menyerang pemuda bersurai oranye. Namun, tak seperti Naruto, pemuda itu dengan mudah melawan mereka. Dalam hitungan menit, kedua pria itu terjatuh tak berdaya.

Dengan langkah percaya diri, pemuda itu mendekati Karin, yang kini terlihat sangat ketakutan. "Kau mau apa?" tanyanya, suaranya seram.

Karin mencoba bertahan. "Kau tidak bisa melakukan ini padaku!" teriaknya, tetapi suaranya tampak goyah.

Tanpa banyak bicara, pemuda itu menjambak rambut Karin, membuatnya terjatuh ke lantai. Dengan tanpa ampun, dia menendang tubuh Karin berulang kali, tanpa belas kasih.

"AAAAAKKKKKK......." Teriakan Karin menggema, penuh kepedihan.

Darah segar mulai mengalir dari mulut Karin, sementara pemuda itu terus menghajarnya. Matanya berkilat penuh kepuasan, melihat Karin yang semakin lemah.

Setiap tendangan dan pukulan yang diterima Karin seolah menghapus semua kebanggaan yang pernah dimilikinya. Suara jeritan yang dulunya mengerikan kini berubah menjadi suara siksaan yang menyedihkan.

Setelah serangan terakhir, pemuda itu menghentikan tindakannya. Karin terkulai, tak berdaya. Dalam keheningan yang menyesakkan, pemuda itu melepaskan rambut Karin dari genggamannya.

Dia mengusap peluh di kening dan menatap Naruto, yang kini tertegun melihat kejadian itu. Ekspresi Naruto terlihat ketakutan dan bingung.

Begitu pemuda itu menatapnya, Naruto langsung berjongkok, tangan terulur memohon ampun. Air mata mengalir deras di pipinya yang penuh luka.

"Kumohon, ampuni aku. Jika aku punya salah padamu, maafkan aku. Mungkin aku tidak mengenalmu, tapi kumohon, jangan sakiti aku."

Melihat ekspresi ketakutan itu, pemuda bersurai oranye hanya tersenyum ringan, berusaha menenangkan Naruto. Perlahan, dia mendekati Naruto yang tampak semakin ketakutan, merasakan hawa dingin dari kehadirannya.

Semakin pemuda itu mendekat, Naruto semakin ketakutan. Dia menutup matanya, bersiap menerima pukulan.

Namun, bukan pukulan yang datang, melainkan tarikan lembut di tangannya. Ketika Naruto membuka matanya, wajah pemuda itu hanya terpisah beberapa inci dari wajahnya.

Pemuda itu menatapnya sejenak, kemudian tersenyum. "Ayo ikut denganku," ucapnya, menawarkan harapan di tengah kegelapan yang menyelimutinya.

Please Untie Me .....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang