Terperangkap dalam Kegelapan

257 25 4
                                    

Naru POV

Ini sudah gila.

Benar-benar gila.

Bagaimana bisa aku bertahan dengan pria yang sewaktu-waktu bisa membunuhku?

Aku duduk di sudut kamar, merasakan dingin lantai kayu menusuk kulitku. Pandanganku jatuh pada pergelangan tanganku yang mulai berubah warna menjadi kebiruan. Rasa sakitnya menghunjam, seperti jarum yang menusuk perlahan-lahan, membuatku meringis. Kucoba mengibaskannya, berharap rasa sakit itu akan sedikit hilang, tetapi harapan itu sirna secepatnya.

"Haah," hanya helaan napas yang bisa kukeluarkan. Suara itu teredam dalam keheningan yang mencekam.

Tak ada jalan keluar yang bisa kupikirkan. Pikiran-pikiran jahat mulai menghantui kepalaku. Bagaimana bisa aku melarikan diri dari rumah yang sudah seperti penjara ini? Oh Tuhan, bagaimana ini? Aku merasa seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas; di luar sana ada kebebasan, tetapi aku tidak bisa meraihnya.

Kucoba berpikir kembali. Berusaha mencari jalan keluar yang mungkin bisa kulakukan. Namun, saat melihat sekeliling kamarku, harapan itu memudar. Dinding yang dingin dan kosong seolah menertawakanku. Jendela kecil di sudut kamar, tertutup rapat, seakan melindungi dunia luar dari kehadiranku. "Dari sini, kau tidak akan bisa pergi," seolah jendela itu berkata.

"Dengan tubuh seperti ini, bagaimana bisa aku kabur dari sini?" ucapku lirih, tak yakin pada kata-kataku sendiri.

Rasa putus asa semakin menghimpit. Sekali lagi, pandanganku berkelana ke sekeliling. Di sudut kamar, ada meja kecil dengan beberapa buku usang dan sebuah pena. Sebuah pemikiran tiba-tiba muncul. Mungkin aku bisa menulis pesan. Mungkin jika seseorang menemukannya, mereka akan tahu tentang keberadaanku dan bisa membantuku.

Namun, saat aku melihat pena itu, bayangan wajahnya muncul di kepalaku. Wajah yang dingin, penuh kebencian, dan mengintimidasi. Tidak, aku tidak bisa. Jika dia menemukanku menulis, konsekuensinya pasti akan lebih parah.

Aku membuang pena itu, merasakan ketidakberdayaan menggerogoti hatiku. Air mata mulai menggenang di sudut mataku, menunggu waktu untuk jatuh.

"Haah," aku menghela napas panjang, suara itu pecah dalam kesunyian. Nyatanya, masih saja buntu.

Hati ini terasa berat, seperti batu yang menguburku dalam kegelapan. Bagaimana aku bisa keluar dari sini? Mungkinkah ada harapan di balik semua ini?

Tiba-tiba, suara pintu terbuka, mengagetkanku. Dia berdiri di sana, siluetnya menciptakan bayangan menakutkan di dinding. Matanya yang tajam menatapku, penuh dengan intensi yang tidak bisa kuartikan.

"Naru," suaranya menggema, dalam dan mengancam. "Apa yang kau lakukan?"

Ketakutan menyergapku. Aku ingin bersembunyi, tetapi kakiku terasa kaku, seolah terpaku pada lantai. Dalam keadaan terkurung ini, aku hanya bisa menatapnya, merasakan jantungku berdegup kencang.

"Tidak ada, Sasuke," jawabku, suaraku bergetar. "Aku hanya... hanya berpikir."

Sasuke melangkah lebih dekat, setiap langkahnya terasa seperti guntur yang menggelegar. "Berpikir? Tentang apa?" Suara itu rendah, tetapi penuh tekanan, seakan menantangku untuk berkata jujur.

Pikiran untuk berbohong muncul, tetapi aku tahu itu bukan pilihan yang aman. "Tentang... bagaimana aku bisa lebih membantu di rumah ini," jawabku, berusaha terdengar meyakinkan.

Dia mengangkat alis, terlihat skeptis. "Membantu? Atau melarikan diri?"

Kata-katanya seperti pisau yang mengiris ketenangan. Apakah dia tahu? Bagaimana bisa dia tahu?

"Tidak! Aku tidak akan melarikan diri!" Aku menggeleng cepat, merasa panik. "Aku hanya ingin melakukan yang terbaik, sungguh!"

Sasuke terdiam, menatapku dengan tajam. Ketegangan di udara semakin pekat. "Dengarkan aku baik-baik, Naru. Jika aku menemukan kau mencoba melarikan diri, aku tidak akan segan-segan menghancurkan semua harapan yang kau miliki. Bukan hanya tubuhmu, tetapi semua yang kau cintai akan kubuat menderita."

Rasa takut membekapku, dan aku tidak bisa berkata apa-apa. Suara ancamannya bergaung dalam pikiranku. "Kau tahu apa yang bisa terjadi jika kau melanggar peraturanku. Aku tidak akan memberi ampun. Ingat, ini adalah rumahku, dan kau tidak memiliki tempat lain."

Dia berbalik, meninggalkanku dalam keheningan yang mencekam. Suara pintu yang tertutup membuatku merasa terjebak lebih dalam.

Kini, di sudut kamarku, aku kembali terkurung dalam pikiranku. Harapan akan kebebasan semakin menjauh, dan semua yang tersisa hanyalah bayangan ketakutan. Dalam kegelapan ini, aku berjanji kepada diriku sendiri—aku akan menemukan cara untuk melarikan diri dari penjara ini, meski harus melalui jalan yang penuh risiko.

Aku tidak tahu kapan, tetapi suatu saat, aku pasti akan bebas. Mungkin, dengan tekad yang kuat, harapan itu tidak akan mati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Please Untie Me .....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang