Prolog

168 21 16
                                    

Dia –yang ku sebut sebagai impian– melepaskan genggaman, berlari tanpa sedikit pun berfikir ada aku yang terdiam menyaksikan. Jangankan untuk berbalik, melirik pun sepertinya enggan.

Dia melepaskan, aku terdiam.

Dia berpaling, aku terdiam.

Dia melangkah, aku terdiam.

Dia berlari, aku terdiam.

Bahkan, aku tetap terdiam ketika dia mulai menghilang.

Bayangannya melayang terbawa angin, jejaknya musnah tertimbun debu. Membuatku kembali pada masa lalu. Dalam diam aku menunggu, tanpa seorang pun tahu.

Lalu, kamu –yang ku sebut sebagai penopang– datang menggenggam, menguatkan. Mengubur kembali masa lalu. Menumbuhkan kepecayaan yang sempat layu. Mengajakku berlari mengejar waktu. Tanpa kita sadari, kita berada di tempat yang sama dengannya. Impian itu kembali datang, menggenggam tangan yang sempat dilepaskan. Aku tahu, ada raut kecewa ketika kamu perlahan melepaskan genggaman yang kini di ambil alih oleh impianku. Tapi, ini lah pilihanku, berlari bersama impian yang selama ini ku tunggu, tanpa penopang.

Aku yakin, aku sangat sangat bahagia bersama impianku. Tapi, apakah aku yakin bahwa aku tidak bahagia bersama topanganku? Apapun yang akan terjadi nanti, kamu tetap rahasia hati ini. Mungkin kita tetap berada dalam lingkar yang sama, hanya tangan yang tak lagi bergenggaman. jalani saja, kelak kita akan sama-sama mengerti.

Seandainya, aku lebih dulu menyadari ketika aku tak hanya hinggap di satu hati.
Waktuku terus berlari, maka aku semakin mengerti apa yang akan kuhadapi. Hingga satu pertanyaan terus menggema di pikiranku:

‘Bisakah aku bertahan, terus berlari tanpa topangan?’

Nath.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang