Part 4

92 16 4
                                    

[4]

Aku merasakan cahaya matahari mulai memasuki celah-celah kamarku. Kepalaku masih sedikit pusing akibat kejadian beberapa hari yang lalu, sudah dua hari ini aku tidak masuk sekolah. Rencananya hari ini aku ingin masuk sekolah, tapi sepertinya mataku masih betah terpejam. Aku merasakan derap langkah seseorang memasuki kamarku dan mendekat.

"Dek, bangun. Minum obat dulu," seru orang itu menggema. Perlahan aku membuka mata dan segera mendapati Bryan berdiri dengan segelas air digenggamannya.

"Engghh...," erangku.

Tangan Bryan terulur membantuku untuk duduk. "Gimana kondisi lo?"

"Masih pusing dikit. Sekarang jam berapa?" tanyaku.

"Baru jam enam. Nih, minum dulu obatnya, baru kalau masih ngantuk ntar tidur lagi." Bryan menyodorkan sebutir obat kehadapanku, disusul dengan segelas air putih.

"Gue mau sekolah," kataku setelah memasukkan obat berwarna hijau kedalam mulutku kemudian meneguk habis segelas air putih tadi.

"Hah apaan? Lo mau sekolah? Gak gak, masih sakit gitu juga," tolak Bryan.

"Ih Bryan, kalau di rumah terus yang ada gue makin puyeng," belaku.

"Tapi lo masih sakit Natha," balas Bryan.

"Cuma pusing dikit kok. Gak usah lebay deh. Gue bete di rumah terus."

"Ya udah terserah. Susah ngomong sama batu. Mandi sana, gue tunggu di bawah," kata Bryan pasrah.

"Okeeee," balasku semangat. Hanya pusing sedikit, tidak masalahkan?

*

"Nanti kalau tambah pusing, bilang gue aja ya," ucap Bryan saat di perjalanan menuju sekolah. Aku hanya mengangguk sebagai balasan.

"Dek?" panggil Bryan. Yang hanya ku tanggepi dehaman. "Gimana rasanya, itu?" lanjutnya.

"Itu apa?"

"Ciuman di dalam air?" Bryan bertanya dengan ujung-ujung bibirnya yang berkedut.

Secepat kilat aku menoleh, "Dari mana lo tau?"

"Pas dirumah, gue iseng-iseng ngeledekin dia, nanya-nanya ngapain aja di dalem air, kok nyelemnya lama banget, eh dia tiba-tiba minta maaf karna udah berbuat lancang, mana mukanya melas banget lagi. Ya, walaupun gue sempet bingung dia lancang ngapain, tapi akhirnya gue ngerti. Padahal mah mau adek gue diapain juga gue gak peduli," ucap Bryan masih dengan seringai jahilnya.

"Ih kok lo jahat sih." Aku menyilangkan kedua tangan di bawah dada dan memajukan bibir bawahku. Berlagak ngambek.

"Hahaha. Bercanda Nathaku sayang. Gak usah cemberut gitu ah, jelek. Oya, Nathan juga nitip permintaan maaf buat lo. Dia gak berani minta maaf langsung, takut lo marahin katanya. Kalau ngejenguk lo aja selalu pas lo tidur. Sebenernya lo ada rasa gak sih sama dia?" tanya Bryan.

"Ih apaan sih, kok lo nanyanya gak nyambung gitu. Udah ah gue pengen turun, udah nyampe tau," kataku tepat saat mobil tiba diparkiran sekolah.

"Dasar. Jangan lupa pesen gue, kalau ada apa-apa langsung hubungin gue," ucap Bryan. Aku mengacungkan jempol, kemudian kami berdua berjalan beriringan kedalam sekolah.

Di persimpangan, kami -aku dan Bryan- berpisah. Kini aku sedang menyusuri lorong menuju kelasku, dari sini aku bisa melihat beberapa teman laki-lakiku berada di luar kelas, dahiku berkerut heran bukankah ini sudah waktu jam belajar dimulai? Mengapa masih ada yang berkeliaran diluar kelas. Saat sampai didepan kelas aku mendekati Ray yang kebetulan sedang berdiri di luar kelas.

Nath.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang