Part 3

82 18 6
                                    

[3]

     Aku melangkah cemas menuju mading sekolah. Hari ini akan diumumkan pengumuman hasil nilai yang kami peroleh selama ujian bebarapa hari yang lalu, serta pengumuman di mana masing-masing dari kami berhasil tembus di salah satu SMA yang telah direkomendasikan. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan kalau saja aku tidak keterima di SMA yang sama dengan Bryan. Aku takut nilaiku tidak mencukupi.

     Aku menerobos kerumunan orang yang berkumpul di mading. Dengan cekatan kuperhatikan satu persatu jajaran nama siswa yang keterima di SMA Medisto.

28. NATHALY CAVELLIN SMEETH
       IX-C
      B.Indonesia : 9,75
      Matematika : 9,50
      B.Inggris : 9,25
      IPA : 9,00

     Lantas aku mengantupkan mulut yang sudah terbuka lebar. Oh Tuhan, kerja kerasku selama ini tidak sia-sia. Tadi sekilas aku juga melihat nama Vicha beberapa baris dibawah namaku. Itu berarti dia juga masuk ke SMA yang sama denganku. Baguslah, aku tidak perlu repot-repot mencari teman baru.

***

     Masa Orientasi Siswa terlewatkan dengan baik. Hari-hariku di sekolah baru ini pun berjalan begitu cepat. Aku baru tahu, Kakakku dan teman-temannya cukup populer juga di sekolah ini dan juga aku baru tahu, Nathan, laki-laki yang kukira seperti malaikat itu ternyata bagaikan pangeran es di sekolah ini, sangat jutek dan tidak memperdulikan sekitar. Hal lain yang baru kuketahui, ternyata Nathan adalah sahabat Vicha yang sering diceritakan padaku. Dan masih banyak lagi hal-hal yang baru kuketahui.

     “Tha, nanti tungguin gue latihan dulu ya,” kata Bryan. Saat ini aku, Vicha, Bryan, Nathan, Ravian dan Ray –teman kelasku, yang merupakan adik dari Ravian dan juga tetangga Vicha– sedang makan bersama di kantin sekolah. Kami memang sudah terbiasa menghabiskan waktu istirahat bersama.

     “Males, ah. Gue pulang naik bus aja,” jawabku.

     “Ih Tha. Kenapa sih lo gak pernah mau nungguin abang lo lYatihan? Sekali-kali gitu temenin gue,” rajuk Vicha. Dia memang sering nungguin Nathan latihan agar pulangnya bisa nebeng, kebetulan Bryan dan Nathan satu tim.

     “Males aja, mending tidur di rumah, kan?” kataku.

     “Dasar lo, cewek-cewek sukanya molor,” ledek Ravian.

     “Biarin aja,” kataku membalas ucapan Ravian.

     “Ah pokoknya lo harus ikut gue. Latihan hari ini sebentar doang kok, cuma pemilihan kapten baru sama game bentaran. Gak lama, beneran deh,” kata Bryan. Aku mengangguk menyetujui, setelah beberapa detik berfikir. Irit ongkos juga kan? Hehe.

     “Yeay... Ya udah yuk ke kelas, udah bel,” ajak Vicha. Aku dan dia berjalan duluan menuju kelas, sementara yang lain mengekor.

*

     Aku, Vicha dan Ray sama-sama sedang sibuk main handphone di pinggir lapangan menunggu tebengan masing-masing selesai latihan. Sudah lebih dari setengah jam kami bertiga mempertahankan posisi, dan berbincang sesekali. Sebenarnya bisa saja aku pulang duluan naik bus, tapi ya tak apa lah sekali-kali. Tak lama berselang, Bryan, Nathan dan Ravian datang menghampiri kami dengan keringat yang mengalir disekitar wajah. Bryan menghampiriku, aku memberikan handuk kecil dan sebotol air mineral.

     “Makan-makaaaannn!!!” seru Ray tiba-tiba. Sontak kami semua menoleh kearahnya.

     “Kata Ravian ada yang baru kepilih jadi kapten basket untuk tahun ini,” lanjutnya.

Nath.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang