#LoveLetter
Kala itu, terdengar senandung ramah. Melantun indah ajak melangkah.
Mengunci kedua tangan dan memberi arah.Jalan dan terus berjalan. Tak peduli bagaimana parasku di hadapanmu. Tak peduli apa sang dara sepertimu akan melirik ke arahku. Hanya berjalan menerpa angin dan mengikuti langkah.
Sampai pada akhirnya, aku tersayat oleh pedang yang menyentuh nadiku. Mendesak-desak mencoba menembus sampau ujungnya.
Rasa sakit yang hebat dibuatnya.
Pun aku tersadar. Mengapa aku kembali ke dalam lorong kegelapan? Mencari-cari mencoba menangkap sang dara dengan cahaya yang dulu menguatkan.
Kemudian, derap langkah kaki terdengar seiring dengan sepasang cahaya mata dari ujung sana mendekat. Mendebarkan hati dan juga jiwa. Mendesir dan menyentuh dalam balutan raga.
Kulihat seorang wanita, dengan paras yang biasa. Matanya penuh hasrat menatap sang daraku dengan seksama. Mengulas senyum dan memperdekat jarak untuk bersama.
Seenaknya dia genggam tanganmu, sang daraku. Menarik pergi dan meninggalkan sosok lemah seperti diriku.
Aku menangis, meronta kesakitan. Aku tidak di ikat, bahkan di sembelih. Namun, rasa sakit itu kini datang tanpa segera beralih.
Melihatmu bergerak kian menjauh, aku menjerit. Aku hanya bisa merasakan sakit yang begitu kuat di balik dadaku, mencelos ke dalam.
Aku menjerit meneriaki sang daraku ribuan kali, namun sayang tidak ada respon. Tubuhku kaku, tidak bisa melawan pedang yang semakin dalam menggerogoti jiwaku.
YOU ARE READING
Love Letter
PoetryUntukmu, sayang. Dariku, pengecut yang tak berani mendekatimu Dariku, pengecut yang hanya bisa melihatmu Dariku, tanah yang selalu kau injak Dariku, sepatu yang selalu melindungimu Dariku, yang selalu dibelakang punggungmu.