2. "Sopir Paksaan"

98 7 0
                                    

"Kian bangun Kian!" Leah meneriaki pintu kamar Kian dengan suara tingginya.

"Leah! Percuma saja kau membangunkan Kian. Hanya membuang tenagamu saja." Timpal Jean sambil melewati Leah yang berada di depan kamar Kian.

Gadis berambut gelap itu berjalan menuruni tangga sambil berusaha mengucir rambutnya. Sudah menjadi kebiasannya bila jarang sekali menata rambutnya di depan cermin. Dia lebih memilih menata rambutnya asal-asalan daripada membuang waktunya untuk berdandan di depan cermin. Dan belum tentu hasilnya lebih baik.

Meja makan sudah penuh dengan beberapa menu sarapan. Tiga mangkuk penuh sereal untuk Kian, Jean, dan Leah. Beberapa lembar roti berlapis selai untuk Tuan dan Nyonya Healway. Semua terlihat sibuk di awal minggu. Terutama bagi Kurt yang akan pergi keluar kota -meninggalkan istri dan ketiga anaknya- selama satu minggu ini.

"Pa, bawakan aku baju dan celana baru ya. Aku mau terlihat lebih trendy daripada Amber." Bisik Jean pada Kurt, ayahnya yang sedang mengoleskan selai pada rotinya.

"Kau ini Jean, kalahkan dia dengan prestasi bukan dengan penampilan saja." Balas Kurt dengan nada datarnya tanpa menghentikan aktivitasnya.

Jean terdiam tidak bisa berkata apa-apa. Namun bibirnya mengerucut cukup panjang. Otot-otot di wajahnya berkontraksi memunculkan mimik kesal pada parasnya. Meskipun tidak menuturkan sekata-pun, cukup jelas bahwa saat ini Jean sedang kesal karena Kurt.

"Jean, nanti kau yang antar Leah ke sekolah ya." Sambung Lucy dari kejauhan sambil membawa bekal untuk Leah.

Seorang siswi sekolah menengah pertama sangat janggal memang membawa bekal sendiri dari rumah. Namun karena Leah tidak suka dengan masakan di sekolah, dia terpaksa membawa bekal sendiri. Berbeda dengan Jean dan Kian yang lebih suka praktis dengan menerima makan siang yang di sediakan sekolah untuk para siswanya.

Sekolah Jean dan Leah memang berbeda. Mereka masih dalam satu sekolah yang sama hanya berbeda letak gedungnya saja. Leah yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama berjarak 2,4 mill ke barat dari rumah mereka sedangkan sekolah Jean dan Kian berjarak 1,2 mill ke utara dari sekolah Leah. Jadi ketika akan menuju sekolah, Jean dan Kian akan melewati sekolah Leah.

"Tapi aku akan pergi dengan Irene, mengapa tidak Kian saja yang membawa mobil?" Bantah Jean yang tidak mau ambil repot dengan membawa mobil ke sekolah.

"Kian tidak sekolah hari ini, dia mengantar Papa ke bandara." Dengan nada yang tidak berubah, Kurt menjawab pertanyaan Jean.

Jean menghentakan tubuhnya untuk duduk di atas kursi kayu meja makannya. Tanganya mulai bekerja mengaduk semangkuk serealnya bersama dengan air susu rasa vanila. Dari tempo adukannya terlihat jelas bahwa Jean benar-benar sedang kesal. Dan sepertinya tidak ada hari dimana Jean tidak kesal.

"Satu lagi, Jean. Tetangga baru kita akan ikut bersamamu nanti."

Apa??

Tetangga baru??

'Jadi benar Marco--Marco itu seumuran dengan Leah?' Gumam Jean dalam sambil memasukan sesendok penuh sereal ke dalam mulutnya.

Makan pagi keluarga Healway berjalan seperti biasanya. Ketika semua sudah siap di meja makan dan mulai menghabiskan sarapannya, tidak satu pun yang membuka mulutnya untuk sebuah percakapan. Mereka pasti akan sibuk menikmati dan menghabiskan sarapannya tanpa peduli siapa orang di dekatnya.

"Ayo Leah, lebih cepat lebih baik." Tukas Jean sambil menggendong tasnya dan mengambil kunci mobil dari atas meja yang tadi sempat di sodorkan Kian.

"Bawa mobilku baik-baik, pumpkin." Ejek Kian.

"Huh..." Jean mendenguskan nafasnya sambil menghentakan kakinya yang beralaskan sepatu adidas putih.

Sementara itu, menanggapi tingkah laku Jean, Kian dan Leah diam-diam tertawa kecil. Lucy berusaha memberitahu anak sulung dan anak bungsunya agar tidak menanggu dia. Tapi sepertinya tingkah-laku Jean memang menggelikan. Buktinya Kurt -yang daritadi bertutur-kata tanpa mimik dan ekspresi- tersenyum tipis dibalik roti selainya.

Jean menunggu di samping mobilnya seraya melempar pandangannya pada keluarga baru di sebelah rumahnya. Tetangga yang baru saja datang tiga hari yang lalu. Sepertinya anak dari keluarga itu akan bahagia karena mereka bertiga terlihat sangat rukun. Marco berpamitan dengan kedua orang-tuanya yang saling berangkulan. Wajah mereka menunjukan binar-binar bahagia.

Mobil Kian mulai terisi oleh tiga orang anak, yaitu Jean sebagai sopir, Leah yang duduk di sampingnya, dan Marco yang duduk di belakang. Mereka bertiga saling berdiam diri dan tidak bertegur sapa. Bahkan ketika Jean mulai menyelakan mesin dan memasukan gigi. Tak satupun kata terucap dari bibir ketiga orang anak tersebut.

"Uhm-- Marco."

Setelah setengah perjalanan, Leah mulai mengahkiri suasana hening yang ada di dalam mobil tersebut. Mungkin karena usia Leah tidak jauh beda dari Marco. Jean sepertinya memiliki rasa gengsi yang tinggi dengan seorang yang lebih muda darinya.

"Kau dikelas apa?"

Marco terlihat sibuk membaca buku ilmu pengetahuannya. Dengan sigap dia menutup bukunya lalu meperhatikan Leah ketika namanya disebut.

"Tiga, middle-shcool," jawabnya singkat dan cenderung dingin. "Kau sendiri?" Tambahnya kali ini lebih hangat daripada sebelumnya.

'Hah benarkan, Ma! Marco itu masih muda. Sangat muda!' Gumam Jean dalam hatinya dengan mengerutkan dahi dan menyudutkan bibirnya.

"Aku masih kelas satu. Kalau Jean kelas satu juga. Hanya saja dia di High-school."

"Leah!" Jean menghentakan nama Leah dengan tatapan tajam ketika adik perempuannya mulai memperkenalkan identitasnya. Sebagai orang yang tidak terlalu populer di sekolah, dia tidak ingin ada orang yang baru dia kenal mengetahui identitasnya.

"Jean, aku hanya ingin mengenalkanmu pada teman baru." Ujar Leah sedikit mengotot untuk membela dirinya.

"Ohiya, dan kakak kami yang memiliki mobil ini bernama Kian. Dia juga kelas tiga di High-School dengan Jean. Mereka meninggalkanku sendirian di Middle-School." Lanjut Leah yang tidak bisa berhenti bicara dengan nada riang dan senyum manisnya. Gestur tubuhnya pun terlihat sangat lincah. Wajar saja karena dia seorang penari.

"Leah, kau pilih diam atau keluar?" Nada sarkas Jean semakin meninggi.

"Oke aku diam!" Leah melipat tangannya dan menenggelamkan tubuhnya pada sandaran sofa mobil.

Menanggapi tingkah laku kedua kakak-beradik itu, Marco tersenyum tipis sambil menarik nafasnya. Sebagai anak tunggal dia tidak pernah merasakan berdebat dengan saudara kandungnya seperti yang Leah dan Jean lakukan.

"Kalian sampai!" Ujar Jean dengan nada sarkas andalannya ketika sampai di gerbang sekolah mereka.

"Terimakasih, Jean." Ujar Leah seraya meninggalkan tempat duduknya dan berjalan keluar.

"Terimakasih, uhm-- Jean?" Ucap Marco ragu-ragu.

"Jeanifer. Jean tak apa."

"Oke, Jean. Apakah nanti aku juga pulang bersamamu?"

Jean mengalihkan kaca spion di bagian depan mobil Kian ke arah bibirnya tanpa menghiraukan Marco yang belum meninggalkan tempat duduknya. Dia mengecap-kecapan bibirnya beberapa kali sebelum menjawab pertanyaan Marco.

"Ya itu terserah kau. Aku pulang lebih sore." Balasnya. "Sekarang turunlah, aku bisa terlambat."

Marco menangguk perlahan dan memasukan buku ilmu pengetahuannya yang masih ada di pangkuannya ke dalam tas.

"Terimakasih sekali lagi, Jean."

"Ya ini aku terpaksa. Seharusnya yang duduk disini dan mengantar kalian adalah Kian." Ujarnya dengan nada lirih mengiringi Marco yang mulai keluar dari mobil.

Jean mulai menancapkan gasnya dan melaju kencang. Sekecengan yang dia bisa. Sebagai anak gadis yang masih menikmati masa mudanya dia suka melajukan mobil dengan kencang.

■■■■

Lynn Silvermist, 22 Juni 2016

Ridiculous LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang