15. "Live your Life"

8 0 0
                                    

"Permisi!"

"Marco!"

Sudah hampir tiga puluh menit aku berdiri disini. Menunggu kehadiran siapapun untuk membukakan pintu. Namun sepertinya sia-sia. Tidak ada seorang pun di dalam rumah. Mereka sedang pergi.

Aku memutuskan untuk meninggalkan rumah Marco dan kembali ke rumahku. Sebenarnya banyak hal yang ini aku ceritakan padanya. Terutama kesuksesannya membantuku mendapatkan Caspian. Itu hal wajib yang sudah aku cetak tebal dan aku beri garis bawah untuk aku ceritakan pada Marco sore ini.

Sepertinya itu semua harus di tunda hingga besok.

Ketika aku mulai meninggalkan halaman rumah Marco, suara anak-anaknya bergema di telingaku, "Jean!"

Sepertinya rencanaku yang gagal membuatku berhalusinasi.

"JEAN!"

Suaranya semakin keras. Bahkan kini dengan sedikit penekanan. Aku masih beranggapan ini hanya halusinasiku. Jadi kuputuskan untuk terus berjalan ke rumah.

"JEANIFFER!!!! BERBALIKLAH!"

Iya aku berbalik!

Marco berdiri di depan pintu rumahnya dengan baju penuh lumpur dan bola ditangannya. Pasti dia habis pergi ke mall. Haha bodoh Jean! Dia bermain sepak bola tadi. Di lumpur, kekanakan sekali bukan.

"Kau ini membuatku menunggu tiga puluh menit dan sekarang meneriakiku?" Aku beragumen panjang lebar sambil berjalan mendekati bocah berlumpur itu. Mungkin tidak sepenuhnya, hanya bagian dada ke atas yang tidak terkena lumpur sedikit.

"Oke, aku salah aku minta maaf." Tukasnya tenang sambil meletakan bola itu di sebelahnya lalu berjalan mendekatiku. "Kau ingin masuk dan menceritakan sesuatu padaku?"

Aku menangguk sambil menghela nafas dan menarik kedua tali tasku sehingga bebanku sedikit terangkat. Hari ini benar-benar melelahkan.

Marco membuka pintu rumahnya dan memintaku menunggu di ruang tamu sedangkan dia meminta waktu beberapa saat untuk membersihkan dirinya. Dasar anak kecil! Merepotkan sekali.

Butuh waktu hampir tiga puluh menit hingga Marco kembali dengan keadaan bersih dan wangi, bahkan jauh lebih baik dari aku yang kumal ini. Dia duduk di sofa sebelahku, langsung merebahkan punggungnya dan bertanya, "Ada apa Jean?"

"Marco kau tidak akan percaya ini!" Aku memang sangat lelah, bahkan menunggunya siap mendengarkan ceritaku membuatku semakin lelah, namun aku sangat bersemangat menceritakan ini. "Caspian mengajakku berkencan! Kau tidak akan percaya ini!"

"Oh, bagus itu!" Jawabnya sangat datar, parasnya benar-benar tidak memberikan mimik apapun. Hal ini membuat sedikit kecewa. "Selamat Jean!"

Aku mendengus kesal, kesal sekali hingga aku tidak bisa duduk lagi di sofa ruang tamunya. "Aku harus pergi." Tukasku kesal sambil menegakan kedua kakiku untuk beranjak dari rumahnya.

"Jean?" Marco ikut beranjak dari duduknya, "kau yakin? Kita baru saja memulai ceritanya."

Entah hanya perasaanku atau memang benar, sepertinya Marco tidak ingin aku pergi. Namun hatiku kehilangan hasratnya untuk bercerita pada Marco.

"Aku ada banyak kuis besok. Sampai jumpa!" Aku melangkah pergi begitu saja, membuka pintu untukku sendiri sedangkan Marco berjalan dibelakangku berusaha mengambil hatiku untuk berbicara padanya.

Sayang sekali untuk saat ini aku kehilangan Marco yang dulu, yang benar-benar mendengarkan ceritaku. Berekspresi pada apapun ceritaku. Aku merasa tidak dihargai lagi.

Marco's POV

Aku tidak mengerti apa yang dirasakan seorang gadis yang sedang beranjak dewasa, maksudku dalam hal percintaan. Aku tahu pasti ada bagian yang sedih ada pula bagian yang sangat menggembirakan.

Mungkin saat ini contohnya. Jean sedang merasa sangat gembira karena akhirnya Caspian mengajaknya berkencan. Tapi seketika perasaan hatinya hancur. Entah apa yang membuatnya mudah sekali merasa demikian.

Setahuku, itu adalah terakhir kalinya aku dan Jean berbicara hati ke hati.

Ya, memang sedikit menyedihkan bila dibaca. Setelah mendapatkan Caspian, Jean tidak lagi menjadi temanku. Dia selalu pergi dengan Caspian dan pulang hingga larut malam.

Pernah sekali Caspian menyelinap ke kamarnya dan aku melihatnya dari jendela kamarku. Ingin rasanya aku melaporkan hal ini karena membuatku risih. Aku memang tidak suka gaya mereka pacaran, seperti tidak sehat.

Beberapa bulan kemudian, hari kelulusanku. Tidak terasa aku akan masuk ke high school dengan segala drama barunya.

Ohiya, di hari kelulusanku seorang gadis bernama Masha menghampiriku. Dia memberikan sebuah bingkisan kecil, surat, dan mengakhirinya dengan pelukan. Dia meminta sedikit waktu untuk berbicara denganku dan aku mengiyakan, kita berjalan ke koridor sekolah.

"Marco, sebenarnya aku menyukaimu."

Aku tertegun dan terdiam seribu bahasa, setahuku Masha memiliki kekasih yang satu kelas dengannya, dan aku bertemu dengannya hanya di kelas sejarah dan matematika. Beberapa kali memang kita sering menjadi rekam satu kelompok.

"Tapi kamu punya kekasih, bukan?"

Dengan mata berlinang, dia mengangguk. "Pacarku suka memukulku, sedangkan kamu sangat lembut kepadaku."

Aku semakin kehabiskan kata kata. Tiba-tiba pikiranku melambung ke Jean yang tidak tahu bagaimana kabarnya saat ini.

"Marco?" Dia memanggilku sekaligus membuyarkan bayang bayang Jean di kepalaku. "Aku memutuskan untuk meninggalkan pacarku, surat itu akan menceritakan semuanya. Aku tidak berharap lebih kepadamu, hanya aku takut bila di high school nanti aku bertemu kekasih yang jahat lagi kepadaku."

Aku memegang kedua tangannya dan terlihat memang ada luka lebam yang hampir tersamarkan di pipinya. Dia mulai terisak, apakah memeluknya akan menimbulkan dosa?

"Hidup memang berat, tapi soal pacar itu pilihan. Kamu harus lebih berhati-hati memilih pasangan. Kamu harus tetap semangat dan menjalani hidupmu sebaik mungkin demi keluargamu. Kamu harus kuat!"

Baru saja ingin memeluknya, Masha mendahuluiku dan memeluk erat tubuhku. Dia menangis dan membasahi baju wisudaku. Aku mengusap lembut punggungnya sambil menghela nafas.

Masha pun melepaskan pelukannya dan pergi meninggalkan aku setelah mengucapkan salam perpisahan. Rasanya berat melepas dia walaupun selama ini aku hanya menganggap dia teman. Tapi mendengar cerita bahwa kekasihnya suka memukulnya, aku jadi ingin bersamanya dan melindungi dia.

Tidak lama, teman teman dekatku menghampiriku. Mata mereka juga berkaca-kaca. Ketiga teman satu tim sepakbola ku memelukku erat-erat. Kami menangis bersama. Dua dari antara kami harus pergi dari kota, mengikuti orang tuanya.

Sedangkan aku akan tetap tinggal di kota ini bersama Trevor. Kami baru berteman sekitar tujuh bulan, dan berat rasanya untuk meninggalkan mereka berdua.

Tapi aku harus tetap menjalani kehidupanku yang tidak mulus ini.

Terlintas bayang-bayang Jean lagi. Andai saja Jean juga pergi dengan berpamitan, akankah aku merasa sedih. Dia mungkin sedang bahagia di kehidupannya yang sekarang, menikmati kemenangannya.

Ridiculous LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang