6. "Curahan Hati"

22 1 0
                                    

Author's POV

*that is Marco's visual*

Tangan putih mulus Jean masih dengan kuat memegang kemudi. Meski hatinya masih gelisah karena keberadaan adiknya yang tidak dia ketahui dimana dan rasa bersalahnya karena tidak menjemputnya. Namun dia berusaha untuk tetap mengemudi dengan tenang. Pasalnya dia membawa seorang anak kesayangan orang tuanya; Marco.

"Jean, sudahkah kau menelpon Leah?"

Jean hanya bisa menggelengkan kepalanya. Lidahnya terasa begitu kaku dan tidak mengucapkan sepatah katapun. Hanya bahasa tubuh yang dapat menjawab semua pertanyaan yang akan mendatanginya.

"Biar aku coba menelponnya ya." Tutur Marco dengan sangat halus.

Marco mengambil handphonenya yang bersilikon biru navy. Jemarinya sibuk mencari nama Leah dari daftar kontaknya. Sedangkan Jean hanya bisa mengemudi dengan mata berkaca-kaca. Sesekali irisnya melirik apa yang Marco lakukan.

Tut... Tut... Tut...

"Rupanya handphone Leah mati." Ujar Marco kecewa sambil memasukan kembali handphonenya pada kantong jaketnya.

"Kita harus mengabari Kian." Gagas Jean. Setelah sekian lama dia ahkirnya bisa menggerakan lidahnya untuk mengutarakan sesuatu.

"Baiklah, biarkan aku saja yang menelpon dan kau fokus pada kemudimu." Marco selalu memiliki ide-ide di saat seperti ini. Saat dimana Jean sudah tidak bisa memikirkan apapun.

Jean mengambil handphonenya dan memberikannya pada Marco tanpa melihat sedikit pun ke arah pemuda beriris kebiruan ini. Marco menerimanya dengan hati-hati karena tepat mereka melewati beberapa polisi tidur secara bersamaan.

Marco melihat wallpaper Jean, "Dia kekasihmu?"

"Ah--" Jean melirikan matanya pada handphone miliknya yang berada di tangan Marco. "Bukan, tapi aku mengaguminya."

"Kau menyukainya? Apa kalian memang sudah dekat?"

Jean menghela nafasnya, "Tidak. Dia sama sekali tidak menyukaiku bahkan tidak mengenalku."

"Mengapa demikan? --uhm maksudku mengapa dia tidak mengenalmu?"

Jean terdiam dan menggelengkan kepalanya. Mengingat dia sedang berada di posisi mana.

"Aku butuh alasan bukan gelengan kepala." Protes Marco tanpa meninggikan nadanya.

"Ya, jadi dia seorang anak populer yang banyak penggemar. Dan aku salah satunya. Dan dia hanya mengenal teman-teman dekatnya saja, bukan penggemarnya."

Marco menangguk-angguk tanda bahwa dia paham, "Mengapa kau tidak mencoba mengejar cintanya?"

"Mengejar cinta?" Jean terkekeh, "Hanya gadis cantik yang boleh mengejar cintanya dan mudah mendapatkannya. Hanya gadis cantik yang berhak untuk memilih dan memutuskan. Sedangkan gadis buruk rupa yang tidak terpandang sepertiku bisa apa. Aku hanya bisa menunggu seorang pria yang bodoh karena jatuh cinta padaku."

Tanpa Jean sadari sebuah kristal bening dan cair jatuh dari sudut netranya. Bukan karena dia sedang frustasi karena Leah belum kunjung ditemukan, melainkan karena kalimat yang baru saja dia utarakan itu merupakan curahan isi hatinya. Umpatan kekesalan yang sudah lama dia pendam karena menurutnya belum ada orang yang tepat untuk mendengarkannya.

"Hey, nona. Jangan menangis." Tukas Marco dengan nada lembutnya berusaha membuat Jean lebih tegar.

Pipi Jean memerah mendengar Marco berusaha menenangkannya. Entah mengapa hatinya terasa nyaman ketika di dekat pria yang lebih muda darinya itu. Serasa hanya dia yang tahu bagaimana menenangkan hati Jean yang selalu over-react. Selain itu sifatnya yang dewasa mampu membuat Jea -yang sifatnya sedikit kekanakan- menjadi kagum.

Ridiculous LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang