'If you love somebody, let them go, for if they return, they were always yours. If they don't, they never were' -Khalil Gibran
D I F F I C U L T 1
Pagi hari itu, cuaca kota Jakarta sedang tidak mendukung. Rintikan sisa hujan lebat yang mengguyur kota tadi malam masih tersisa. Awan hitam masih setia bertengger di langit menutupi matahari yang seharusnya sudah waktunya berganti tugas dengan kegelapan.
Ara menghembuskan nafas gusar di balik jendela kaca rumahnya. Menatap langit yang tidak bisa berkompromi dengan harinya.
"Tiaraa... cepat, sarapannya uda Ibu siapkan!"
Teriakan ibu dari arah dapur menyadarkan Ara. Ia menyibakkan gorden jendela dan mengikatnya kesamping.
"Iya Bu, sebentar," sahutnya sambil mengikat gorden jendela dengan jepitan.
Ara mengambil tas ransel biru mudahnya dan menjinjing sepatunya keluar kamar. Berjalan menuju dapur yang sekaligus ruang makan. Sesampainya di dapur ia melihat Ibu yang sedang membungkus kue-kue.
"Ara bantu ya, Bu," ucapnya sambil memasukkan kue-kue kedalam kotak.
"Makan dulu," bantah Ibu, mengambil alih tugas Ara.
Ara mengerucutkan bibirnya saat Ibu menuntunnya untuk duduk. Lalu senyumnya kembali mengembang kala melihat nasi goreng kesukaannya sudah tersedia.
Ara menyuap sesendok nasi goreng kedalam mulutnya, "enak, Bu."
Sambil menyantap makanannya ia memperhatikan Ibu yang sedang menyiapkan kotak kue. Mulut Ibu berkomat-kamit menghitung jumlah kue yang dimasukkan kedalam kotak.
"...23,24,25...."
Ara mengambil kue yg tersisa,"sisa empat, Bu?"
Ibu mengangguk, "bawa aja, untuk kamu makan pas jam istirahat."
Ara mengambil kotak makanan dan memasukkan kue-kue ke dalamnya. Lalu menaruhnya kedalam tas ranselnya.
Setelah siap, ia membawa salah satu kotak kue jualan Ibu untuk dititipkan ke kantin sekolah.
"Makasih, Ara berangkat ya, Bu," pamitnya lalu berjalan meninggalkan dapur setelah menyalim tangan Ibunya.
"Hati-hati!"
*****
Ara keluar dari rumah. Hujan sudah redah untunglah, pikirnya. Ia berjalan menuju sekolah yang kebetulan tidak terlalu jauh dari rumahnya. Tapi harus melewati gang-gang sempit untuk menuju jalan pintas.
Tiba di depan gang potongan jalan, ia berhenti sebentar untuk menyeberang ke jalan raya. Di sana sudah banyak teman-teman sekolahnya yang berjalan kaki atau membawa kendaraan. Baru ingin melangkah, tiba-tiba lima motor dengan kecepatan tinggi melewatinya. Membuat genangan air sisa hujan di jalanan terciprat ke arahnya. Sontak ia refleks berbalik arah dan mundur kebelakang.
"Untung aja," ucapnya legah. Kue yang dibawa tidak terkena cipratan begitu juga seragam sekolahnya. Hanya sepatu dan kaus kakinya yang sedikit basah.
Ara menghembuskan nafasnya pelan. Masih pagi sudah ada aja hal yang melatih kesabarannya.*****
Suasana ruang kelas XII-A terasa Hening. Tidak ada pembicaraan sedikitpun. Yang terdengar hanya suara ketukan sepatu seseorang yang sedang mengawasi. Saat orang itu sudah duduk tenang di bangkunya. Di bangku paling belakang 4 orang siswa sedang dalam kegiatan saling lempar.
"Pssstt... bego, gue minta nomor 10 bukan 8," bisik Fadil di tempatnya. Yang terus merusuh Rere yang sibuk menghitung.
"Re... oyyy... bagi nomor 4 dong."
Rere masih sibuk dengan pekerjaannya yang membolak-balik data galeri, "Diem dulu anjir... gue lagi nyari nih." "isss... kok gak ada, perasaan uda gue foto rumusnya dari buku Digo," rutuknya.
"Oyy... Dugong, mana nomor 5 gue woyyy...," ucap Ardi menempeleng kepala Rere dari belakang.
Rere tetap fokus dengan layar ponselnya. Matanya masih liar memperhatikan galeri hp yang kebanyakan berisi foto-foto mantannya.
"Yang sudah selesai bisa langsung dikumpulkan, waktu tinggal 15 menit lagi."
Peringatan Pak Tomo membuat kelas kembali ricuh dengan suara bisikan dan kepanikan.
"Anjirr... gue masih kosong."
"Gue tinggal dua nomor lagi."
"Nomor 10 gimana, sih?"
"Oyyy... Ra, nomor 9 bagi dong...," pinta Dea sambil menoel pundak Ara. Membuat Ara menoleh ke belakang.
Dea memberikan isyarat dengan raut wajahnya yang sok melas. Ara menggeleng pelan sambil menulis jawaban di koyakan kertas. Lalu memberikannya lewat kolong meja.
"Thanks...."
Dea dengan telaten menyalin jawaban Ara. Sedikit menghapus proses jawabannya yang asal ia tulis. Lalu menggantikannya penuh dengan yang Ara jawab.
"De, gue dong bagi...," pinta Desna seidikit berbisik.
Desna terus menganggu Dea yang sudah keringat dingin berpacu dengan waktu. Karena merasa kesal Dea langsung menunjuk Ara yang duduk manis di bangkunya. Desna yang mengerti maksud Dea menghentikan aksinya yang menarik-narik bangku Dea ke belakang.
"Tir... Raa... bagiii...."
Ara lagi-lagi dengan senang hati menulis jawaban satu soal. Dan dengan suka rela melemparnya ke arah Desna. Desna membulatkan jarinya, memberi isyarat ucapan terimakasih.
Tukkk...
Ara meringis saat sebuah tutup bolpoint tepat mengenai jidatnya. Ia menoleh kesamping mendapati Digo yang menatapnya dingin.
Digo bangkit dari kursinya mengambil kertas jawabannya. Lalu berjalan ke arah depan, untuk mengumpulkannya. Sebelumnya ia berhenti sebentar di samping Ara.
"Tolol!" bisiknya di telinga Ara.
*****
Digo mengambil permen karet dari kantong celananya. Membuang bungkusnya dan memakannya dengan santai. Sadar tengah diperhatikan ia menghembuskan nafas kesal. Lalu menoleh ke arah belakang.
"Kenapa ngikutin gue?" tanyanya ketus menatap dingin orang di belakangnya.
Orang yang di maksud Digo hanya mengernyitkan alisnya bingung. Pasalnya lorong sekolah masih sepi. Hanya ada dia dan Digo di sini.
"Gue?" tanyanya kembali. Menunjuk dirinya sendiri.
"Ck iyalah, bego!" ketus Digo. Tatapannya masih sama. Dingin.
"Engak kok, perasaan lo aja kali...," bantah orang itu.
Digo hanya berdecak kecil lalu kembali melanjutkan langkahnya.
"Di-digo...."
Digo menghentikan langkahnya, masih dengan tangan yang dimasukkan kesisi satu kantong celananya. Dia masih membelakangi orang yang mengajaknya berbicara. Orang itu malah terdiam. Hening. Saat orang itu ingin membuka suara.
"ARAYUUUU!!"
Teriakan seseorang membuat orang itu menoleh. Dia adalah Ara. Orang yang tadi itu Ara dan yang memanggilnya Desna yang sedang lari tergopoh-gopoh diikuti Dea yang tertinggal di belakangnya. Cewek yang satu itu memang perusak suasana.
Tanpa mereka sadari ternyata bel istirahat sudah berbunyi. Murid-murid mulai berkeluaran dari ruang kelasnya. Digo yang masih berdiri membelakangi Ara tersenyum miring.
Ara kembali menoleh ke arah Digo yang sudah menghilang dari tempatnya. Tatapannya berubah menjadi nanar.
Tbccc...
Hallo aku kembali dengan cerita baru. Castnya aku ambil nama sahabat-sahabat sekaligus keluargaku di waf.
Tingalkan vomentnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Difficult
Teen Fiction[HIAT!!!] Penghianatan itu membuat semuanya menjadi berantakan. Merasa takdir mempermainkannya dengan begitu rumit. Mereka semua terjebak dalam dendam, amarah, dan kekecewaan. Sampai merasa 'Di sini akulah yang paling terluka'. Padahal mereka semua...