'Aku selalu merenung, mencoba mengerti hatimu yang butuh penjelasan. Namun kamu salah cara memintanya."
💔
"Tiara ada Rafa nunggu kamu di depan."
Suara panggilan dan ketukan dari Ibu menyadarkan Ara dari lamunannya. Tanpa terasa air matanya menetes dan dia buru-buru menghapusnya. Kembali mematut dirinya di depan cermin. Setelah dirasa sudah lumayan baik dia keluar menyahut panggilan Ibu yang mengetuk pintu kamarnya.
"Iya bu," ucapnya membuka pintu kamar.
Ibu tersenyum melihat anak gadisnya yang terlihat cantik memakai gaun pemberian Ayahnya dulu. "Cantik kamu Ra," puji Ibu mengelus pipi anaknya.
Ara tersenyum kecil membalas ucapan Ibu. Tanpa sadar air mata Ibu jatuh membuat Ara panik.
"Ibu kenapa nangis?"
"Hanya teringat pada Ayah mu dulu. Waktu pertama kali mengajak Ibu jalan." Ibu menghapus air matanya. Kemudian kembali menatap anak gadisnya yang sudah tumbuh dewasa. "Untung aja gaunnya masih bagus, walau udah sedikit Ibu jahit dan permak di beberapa sisi," ucap Ibu sambil memegang bahu Ara.
"Ini bagus banget Bu, Ara suka." Ara tersenyum manis.
Ibu menggenggam tangan anaknya dengan sayang. Berharap nasibnya tidak akan sama dengan anaknya. Dia tidak sanggup kalau sampai Ara juga ikut menanggung beban hidupnya.
"Ayuk, kasihan Rafa nanti kelamaan menunggu. Pasti dia bakalan pangling lihat anak Ibu makin cantik malam ini," ucap Ibu dengan maksud menggoda Ara.
"Ibuuu...," balas Ara dengan nada merajuk.
*****
Rafa sibuk memainkan ponselnya. Sesekali dia tersenyum kecil membalas pesan masuk dari teman kampusnya.
Lalu kegiatannya teralihkan setelah kedatangan Ara. Dia tersenyum melihat Ara datang bersama Ibu. Kemudian bangkit dari kursi rotan yang ia duduki di depan teras rumah tadi selama hampir 15 menit.
Ara ikut tersenyum saat melihat Rafa dengan setelan jas hitamnya. Dia terlihat dewasa dan kadar kegantengannya bertambah di mata Ara.
"Nak Rafa, Ibu titip Tiara. Jangan pulang kelamaan ya," ucap Ibu pada Rafa.
Kebetulan Ibu sudah mengenal Rafa lama. Sama seperti Ibu mengenal Digo dan juga Shelin karena mereka dulu sering main ke rumahnya. Dan Ibu juga tahu dengan kondisi Shelin begitupun cerita yang terjadi di antara mereka.
Karena Ara menceritakan semuanya. Dia tidak lagi punya tempat berlabuh saat itu. Kecuali pulang ke rumah dengan wajah sembab membuat Ibu khawatir. Kemudian dia menceritakan semuanya yang terjadi dalam pangkuan Ibu. Dan menangis bersama Ibu.
Rafa tersenyum manis menganggukkan kepalanya. "Iya Bu, Rafa pasti akan jaga anak gadis Ibu yang cantik," goda Rafa sambil melirik Ara yang dibalas Ara dengan pelototan.
"Ah kamu ini, kasihan muka anak Ibu jadi merah gitu," balas Ibu ikut mengejeknya. Membuat Ara mendengus sebal.
Rafa terkekeh lalu menyalim tangan Ibu diikuti dengan Ara. "Kami berangkat dulu ya Bu," pamit Rafa yang disahuti Ibu dengan anggukan sambil menepuk pundak Rafa sekilas.
"Bu Ara pergi ya." Lagi-lagi Ibu mengangguk kemudian mengecup dahi Ara sekilas.
Rafa dan Ara masuk ke dalam mobil. Kemudian Rafa menstater mobilnya sebelum menancap gas mobil.
*****
Di dalam mobil hanya ada keheningan yang terjadi. Ara asik menatap jalanan padahal tidak ada yang menarik di sana. Begitupun dengan Rafa yang sibuk menyetir.
"Raaa...." Rafa menyentuh tangan Ara yang berada di pahanya. Ara terkejut karena sedaritadi ia sedang melamun. Spontan saja menjauhkan tangannya dari genggaman Rafa.
Rafa mengernyit "kamu berubah ya sekarang."
Ara yang masih sibuk dengan keterkejutannya menoleh pada Rafa. "Huh? Maksud kamu?" tanyanya.
"Kamu merasa enggak sih Ra kita ini semakin jauh. Bukan hanya aku dan kamu tapi juga Digo. Aku ngerasa kita benar-benar butuh bicara."
Ara menatap Rafa tidak percaya. Butuh bicara yang bagaimana lagi? Cukup sudah dia merasa menjadi yang salah dan paling terluka di sini. Ditambah dengan Rafa yang tidak mau melepasnya.
Rafa menghela nafas ingin melanjutkan pembicaraannya yang belum selesai. Tapi Ara dengan cepat menyela. "Rafa apa ada baiknya kita akhiri semua ini. A-aku cuman gak mau terus-terusan dihantui sama rasa bersalah. Aku juga manusia yang punya batas kesabaran."
Ara menarik nafasnya menahan genangan air mata yang sudah berdesakan keluar dari matanya. "Rafa... ada baiknya kamu fokus ke Shelin. Aku tahu Digo pasti terluka tapi... Aku yakin Digo sayang sama Shelin pasti dia gak bakal egois lagi untuk ngelepas Shelin. Rafa... Mari kita sama-sama bahagia. Kamu dengan Shelin, aku dengan hidupku, dan Digo dengan hidupnya."
Ara menoleh sebentar ke Rafa yang menatap lurus ke depan. Rafa memelankan laju mobilnya. Rahangnya mengeras seperti menahan sesuatu. Tapi Ara sudah bertekad untuk mengakhiri semuanya. Walaupun Ara tahu bukan ini jalan keluar yang sebenarnya. Mengingat kondisi Shelin yang belum membaik dari masa trauma dan pengobatannya.
"Rafa... kita pu--"
Cekitttt.... Bruugghhh....
Perkataan Ara otomatis terpotong saat tiba-tiba Rafa mengerem mobilnya secara mendadak. Kepalanya hampir saja menyentuh dashboard kalau saja tidak ditahan oleh sabuk pengaman.
Untung saja jalanan sepi karena sudah memasuki perkomplekan. Ara menelan liurnya dengan susah payah. Melirik sekilas ke arah Rafa yang terdiam mencengkram setir mobilnya dengan kuat.
Ara tahu kalau ia sudah membicarakan hal tentang hubungan mereka dan bermaksud mengakhirinya. Hasilnya akan seperti ini sama seperti yang lalu-lalu.
Tbccc....
KAMU SEDANG MEMBACA
Difficult
Teen Fiction[HIAT!!!] Penghianatan itu membuat semuanya menjadi berantakan. Merasa takdir mempermainkannya dengan begitu rumit. Mereka semua terjebak dalam dendam, amarah, dan kekecewaan. Sampai merasa 'Di sini akulah yang paling terluka'. Padahal mereka semua...