***
Jember, 2011.
"Lutfi, tolong temui adikmu di kampus. Dia menelpon ban sepedanya kempes. Bantu dia ke bengkel." Suara bunda terdengar dari arah dapur.
"Kenapa dia tidak telpon Lutfi Bun?" Tanya Lutfi. Dia berjalan menghampiri bundanya yang terlihat sibuk dari tadi.
"Coba lihat dulu hpmu." Jawab Bunda. Laki-laki dengan tinggi 172 cm itupun bergegas lari ke kamarnya. Mengambil Iphone yang di charge di atas meja samping tempat tidur. Ada tujuh panggilan tak terjawab disana, lima dari adiknya, satu dari temannya, dan satu lagi dari karyawan kantornya.
"Eh, iya... Dia telpon Bun, tapi hpnya dari tadi di silent."
"Cepat pergi sana, beberapa menit lebih lama, adikmu akan manyun selama dua hari."
"Hahaha.... " Lutfi tertawa mendengar perkataan bunda. Itu benar sekali. Adik bungsunya itu memang kelewat manja. Mentang-mentang paling muda dan seorang perempuan. Terkadang sampai bikin Lutfi mangkel sendiri.
Lutfi mengendarai mobil ferari putih dengan kecepatan 8o KM perjam. Meliuk-liuk di tengah padatnya jalanan kota. Hari ini ramai sekali. Indonesia memang sudah masuk dalam taraf waspada. Pengendara sepeda motor dan mobil sangat banyak, padahal jalan yang disediakan sangat sempit. Macetpun sering terjadi bahkan di kota kecil seperti Jember.
Doubleway di depan kampus IAIN Jember ramai. Beberapa orang mahasiswa duduk di bawah pepohonan kelapa di pinggiran trotoar. Lutfi memarkir mobilnya dekat dengan stand penjual es buah. Dia mengambil telepon genggamnya berniat menghubungi Nada yang mungkin sudah menunggu kepananasan. Di bulan September seperti ini cuaca sangat terik. Di hpya sudah ada lima panggilan tak terjawab. Adiknya benar-benar akan marah pikirnya. Sebelum nada telpon tersambung seseorang menggedor kaca mobil dengan keras.
"Kak... Kak.... Buka pintunya." Dari luar kaca terlihat gadis manis berkerudung biru. Matanya sesekali berkedip-kedip menahan terik matahari. Lutfi segera membuka pintu mobilnya.
"Kakak kenapa lama sekali? Tidak tahu cuaca lagi panas banget ini." Tegur Nada dengan wajah merengut. Sudah hampir satu jam dia menunggu. Beberapa kali menelpon ke handphone kakaknya tapi tidak diangkat. Akhirnya dia menelpon bundanya yang sedang sibuk membuat pancake. Bundanya memang sangat pintar membuat kue, kebetulan di bulan ini banyak pesanan baik untuk acara pernikahan atau ulang tahun.
"Maaf dik. Handphone kakak silent dari tadi. Maaf ya.!"
"Iya... iya... kali ini Nada maafkan. Itu karena ada seseorang yang nemenin Nada disini." Jawab adiknya dengan wajah manyun.
"Alhamdulillah, teman kuliah kan? Iya sudah. Sekarang mana sepedanya? Kakak bawa ke bengkel dulu."
"Tuh ... " Tunjuk Nada pada sepeda beat berwarna hitam yang terparkir di trotoar jalan.
Lutfi dan Nada beranjak menuju sepeda. Mereka berdua berjalan beriringan. Beberapa mahasiswa yang sedang nongkrong di depan kampus memperhatikan keduanya. Orang yang tidak mengenal Nada dan Lutfi pasti akan melihat keduanya sebagai sepasang kekasih. Nada dengan manjanya memeluk tangan Lutfi, berjalan cantik dengan senyum Kanan kiri.
"Mana temannya?"
"Langsung pulang saat tahu kakak datang."
"Hayo ... jangan-jangan sama cowok tadi ya?"
"Eits ... Kakak jangan sembarangan ya. Nada tuh terlalu keren buat pacar-pacaran."
"Ciye ... bahasamu nduk ... nduk. Terlalu keren apa tidak ada yang mau?" Lutfi kembali menggoda adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari - kau bukan untukku!
Historical FictionDan akhirnya, burungpun kembali mengepakkan sayap. Mencari mimpi. Dalam malam. Suara rebana menggema, Lagu-lagu nashid mengalun merdu meramaikan suasana. Sepasang pengantin tengah duduk bersanding di atas pelaminan. Beberapa undangan pria dan wan...