Lantai putih bandara Juanda terlihat mengesankan. Semua tampak rapi dan bersih. Beberapa orang berlalu lalang, berjalan cepat dengan langkah panjang. Ada yang menggeret koper, mendorong atau menjinjing tas besar. Berkelompok, berdua, dan seorang diri. Lutfi berjalan santai bersama beberapa keluarga yang menghantar. Ada Nada, bunda, tante Sofi dan juga Zahro. Sebelum chek in Lutfi kembali memeluk bunda dan adiknya, mencium tangan bunda lama sekali. Dia merasa akan banyak hari dia lalui tanpa menyentuh tangan sumber cahayanya. Pada adiknya dia banyak berpesan "Kuliahmu harus rajin ya dik. Jangan keluuyran di hari lubur. Temenin dan bantuin bunda." Nada hanya mengangguk pelan. Hatinya tiba-tiba merasa berat mengijinkan kakaknya pergi. Mata bunda berkaca-kaca. Bagaimanapun tegarnya seorang ibu, dia akan merasa sedih melihat dan melepas kepergian anaknya ke tempat yang sangat jauh.
Saat berpamitan pada Zahro. Lutfi tersenyum.
"Dik... sesuai janjiku pada orang tuamu yang disaksikan oleh Allah dan para malaikatnya. Aku akan setia menjaga ikatan kita disana. Aku percayakan penjagaanmu pada Allah SWT. Segera rampungkan kuliahmu. Semoga Allah meridhoi rencana kita pada tahun depan. Jika aku jodohmu dan kau calon bidadariku maka tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk mempertemukan kembali. Kalau dalam satu tahun aku tidak kembali, maka kubebaskan kau dari ikatan ini"
Zahro tertunduk di hadapan Lutfi. Dia tidak mampu menatap wajah laki-laki yang telah mengikatnya. Seorang laki-laki yang berani menemui kedua orangtuanya dengan gagah perkasa. Dua hari sebelum keberangkatannya ke Thailand. Lutfi telah berkunjung ke rumah Zahro untuk menghitbahnya. Ayah Zahro kaget, karena selama ini putri semata wayangnya tidak pernah bercerita apapun tentang Lutfi.
"Siapa nama kamu?" Pertanyaan pertama yang diajukan ayah Zahro.
"Saya... Lutfi pak. Lutfi Andriyanto."
"Apa tujuan kamu datang kemari?"
"Pertama-tama saya mau memperkenalkan diri dan menjalin silaturahmi. Yang kedua saya ingin menyampaikan niat baik saya untuk menghitbah putri bapak. Zahro." Lutfi berkata mantab tanpa ragu sedikitpun. Ayah Zahro tentu saja terkejut, wajahnya tampak kebingungan. "Anak laki-laki ini sangat berani" batinnya.
"Apa yang membuat saya harus menerimamu sebagai calon menantu?" Tanya ayah Zahro dengan tegas.
"Tidak ada pak. Baik bapak maupun Zahro mempunyai hak penuh untuk menolak saya. Saya datang kesini karena niat baik saya ingin melamar anak bapak. Karena Allah dan keyakinan dalam hati saya."
"Kalau saya tolak lamaranmu bagaimana?"
"Saya datang dengan hati ikhlas, begitupun kalau bapak menolak saya. Asalkan ada alasan syar'i yang bisa bapak jelaskan." Lutfi sudah pasrah. Bagaimanapun dia sadar kemampuannya dalam hal agama sangat minim. Akalnya merasa belum pantas bersanding dengan gadis sholeha yang memiliki kecantikan luar dalam seperti Zahro. Tapi hatinya sangat yakin. Bukankah harus ada usaha dalam setiap keinginan. Bismillah saja.
"Ehm... Kalau begitu. Tidak ada alasan bagi saya untuk menolak lamaranmu." Jawab ayah Zahro dengan senyum sumringah.
Malam itu, sebuah ikatan direkatkan untuk mengucap janji pada Tuhan.
Lutfi memandang wajah yang tertunduk itu agak lama.
"Iya kak. Zahro percayakan kakak pada Allah. Dan Zahro menunggu kakak hingga kembali ke tanah air. Jaga kesehatan kakak disana."
Lutfi segera membalikkan badan. Menarik kopernya dan berjalan perlahan. Dari arah seratus meter dia berhenti. Kembali melihat pada wajah-wajah yang mengantarnya. Melambaikan tangan, hingga satu dua tetesan air matanya jatuh tanpa diketahui oleh bunda, Nada, dan juga Zahro.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari - kau bukan untukku!
Historical FictionDan akhirnya, burungpun kembali mengepakkan sayap. Mencari mimpi. Dalam malam. Suara rebana menggema, Lagu-lagu nashid mengalun merdu meramaikan suasana. Sepasang pengantin tengah duduk bersanding di atas pelaminan. Beberapa undangan pria dan wan...