2. Habit

36 5 0
                                    

Ellen baru saja membersihkan kacamatanya dari noda yang ada ketika tubuh seseorang menubruknya hingga kacamata itu kembali ternoda akibat tersentuh kulit wajahnya sendiri. Gadis itu hampir mengumpat kalau saja ia tak menyadari siapa yang menubruknya di koridor kampus yang masih sepi pagi ini.

"Maaf, Len. Gue meleng," ujar Adrian lalu mengecek kondisi Ellen dengan teliti. "Ada yang sakit?"

Mendadak rasa illfeel menyelimuti diri Ellen menerima perlakuan berlebih dari Adrian. Pasalnya sejak kejadian di hari ulang tahun Ara beberapa hari yang lalu, Ellen bersikap cuek dan entah kenapa tak ingin berhubungan dengan lelaki itu. Hati Ellen memang terlalu mudah untuk mengabaikan orang lain dua tahun belakangan ini sebab gadis itu terlalu mengerti bagaimana rasanya diterbangkan lalu dijatuhkan begitu saja.

Dengan kata lain, Ellen masih dalam masa trauma akibat kejadian tak menyenangkan bersama mantan kekasihnya dua tahun yang lalu.

"Santai, gue mau ke kelas dulu."

"Kita sekelas kan, Len? Bareng aja, yuk."

Padahal gerak tubuh Ellen sudah jelas terlihat bahwa gadis itu ingin cepat-cepat meninggalkan Adrian. "Oh, gue baru inget kalo gue mau minjem buku di perpus."

"Oh, iya. Buku yang disuruh sama Bu Meli, kan? Gue juga mau pinjem sekalian, deh."

Kekesalan Ellen perlahan memuncak melihat tingkah Adrian yang tak kunjung menjauhinya. "Aduh, gue kebelet, nih. Lo duluan aja, ya."

"Eh, tapi..."

Tanpa membuang waktu, Ellen memotong dalih Adrian. "Lo mau nungguin gue di toilet cewek atau menghindar dari amukan para cewek di sini?"

Adrian tampak menghela napas berat menyadari Ellen yang berusaha menghindar darinya. "Gue duluan, ya."

Ellen mendesah lega melihat kepergian Adrian dan kini ia tinggal mengukur waktu untuk kembali ke kelas. Gadis itu cukup berjalan pelan dan memilih tangga utara dari kelasnya yang memang terletak agak jauh agar ia bisa mengulur waktu sebelum ke kelas. Suasanya hatinya baru saja membaik sebelum panggilan dari suara seorang lelaki mengusik ketenangannya.

"Pagi, Mbak."

Elvan tersenyum manis seperti biasanya sambil melepas earphone dari telinganya. Laki-laki itu tampak baru datang karena tas dan jaket yang masih setia melekat pada tubuhnya. Elvan mengernyit bingung kala Ellen hanya diam menatapnya tanpa membalas sapaan darinya.

"Kok diem aja? Ga kesambet, kan?"

Ellen menggeleng, antara menjawab pertanyaan tersebut atau menetralkan kembali kesadarannya yang menguap begitu saja seiring dengan kehadiran cowok itu.

"Lo baru dateng?"

"Yup."

"Telat as always, ya."

"Telat apaan? Ini kan baru jam..." Elvan terdiam ketika melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 9 lewat 5 pagi. "9 lebih 5 hehe."

"Lo ga bisa ya kalo ga telat?"

"Gue telat bangun tadi."

"Kayaknya lo telat bangun tiap hari."

"Dan lo?" Elvan menatap datar gadis di sebelahnya yang kini menatapnya balik dengan ekspresi serius. "Lo sendiri kenapa masih di sini bukan di kelas? Berarti lo telat masuk kelas kan?"

Ellen mengalihkan pandangannya agar debaran jantungnya bisa kembali normal. "Gue lagi ga bisa masuk ke kelas tepat waktu."

"Kenapa?"

"Yah, ada alasan."

"Ada yang ga gue ketahui?"

Gadis itu masih mengabaikan pandangan menuntut Elvan. "Ga ada."

ElvanelleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang