3. Feels Uneasy

29 4 0
                                    

Ellen Vanessa's point of view.

Ini sudah ketiga kalinya dalam 10 menit terakhir aku mengerling ke arah jam dinding dan jam yang tertera di ponselku secara bergantian, memastikan kalau waktu yang mereka tunjukkan salah. Namun pada akhirnya aku sadar kalau yang salah di sini bukanlah sang waktu, melainkan seseorang yang membuatku menunggu selama 30 menit dari waktu yang ia janjikan.

Itu berarti aku sudah duduk di sini selama 1 jam menunggu ketidak pastian. Eh, menunggu Elvan.

"Lho, Elle? Kamu belum berangkat?" perhatianku teralih ke pintu depan di mana Mama menjinjing belanjaannya dengan hati-hati. Aku beranjak dari sofa ruang tamu untuk membantu membawakan sayur-mayur yang baru dibeli Mama dari pasar.

"Iya, nih, Ma. Elvan belum dateng masa."

"Jam berapa kuliah lapangannya?"

"Jam 9, Ma. Tapi kan takut aja kalau ada arahan apa gitu dari kampus. Kan ini rencananya mau ke kampus dulu terus jam 8 berangkat bersama dari kampus."

"Udah coba hubungi Ara atau yang lain?"

Aku mendengus pelan. "Udah tapi kata mereka sabar aja."

"Ya udah sabar aja, mungkin dia ada urusan."

Berbeda denganku, sifat Mama memang selalu sabar seperti ini seburuk apapun masalahnya. Mama selalu mendinginkan kepalanya terlebih dahulu, membuang segala emosi negatifnya, lalu menghadapi rintangan yang harus dilaluinya dengan tenang dan tidak gegabah. Dahulu, aku juga seperti itu. Tenang dan sabar. Tapi, itu dahulu.

"Kamu siap-siap aja, kalau jam 8 kurang 15 Elvan belum dateng, Mama telfonin ojek."

Aku menurut dan lagi-lagi aku hanya bisa berdiam diri di sofa sambil mengotak-atik LINE tanpa tujuan. Bahkan spamming messageku tidak dibaca sama sekali oleh Elvan. Dia di mana? Sedang apa? Apa yang terjadi? Sesibuk apa dia hingga pesan dan panggilanku terabaikan begitu saja?

Mendadak sebuah imajinasi terbayang di benakku. Hal ini pernah kualami beberapa tahun silam. Menunggu seseorang tanpa kabar dan pada akhirnya kenyataan yang kudapat merupakan kenyataan yang paling...

"Mamaaa!"

"Elle, teman kamu sudah datang nih!"

Seruan Mama yang sepertinya berasal dari luar rumah segera menarikku dari bayang-bayang ketakutan yang pernah menggangguku selama beberapa tahun. Dengan debaran jantung yang masih belum normal, aku melesat ke pintu depan untuk memeriksa kebenaran yang Mama katakan. Benar saja, Mama sedang membukakan pintu gerbang untuk seorang laki-laki yang selalu memasang tatapan konyolnya pada semua orang. Melihat Elvan yang tersenyum konyol seperti itu pada Mama membuatku membuang napas yang kutahan sejak tadi.

Ternyata cowok itu masih baik-baik saja.

"Elle, mana tasmu? Cepat berangkat."

"Uh, Elle ambil dulu."

Aku bergegas kembali ke dalam rumah mengambil segala keperluanku dan dengan cepat juga aku keluar. Kami berpamitan dengan Mama. Ketika Elvan sudah menaiki motornya dan aku masih memasang kaitan helmku, ucapannya menghentikanku sejenak.

"Nama kecil lo Elle?"

Ingin sekali kusahuti, 'Udah tahu, nanya' tapi lidahku mendadak kelu. Beberapa menit yang lalu traumaku hampir kambuh karenanya namun sekarang dia dengan santainya menanyakan nama kecilku? Bahkan dia tidak minta maaf karena sudah membuatku menunggu selama itu.

Elvan menoleh ke arahku karena tidak mendengar responku dan bisa kulihat matanya sedikit membelalak mendapati ekspresiku.

"Lo kenapa?" tanyanya pelan.

ElvanelleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang