Langkah tegap Adrian bergema di koridor sebuah kantor. Matanya memicing tajam ke arah depan guna memerhatikan siapa saja yang hendak berpapasan dengannya. Begitu pintu dengan sebuah papan nama terlihat dalam jangkauannya, ia melangkahkan kakinya lebih cepat menghampiri ruangan itu. Meja sekretaris di depan pintu tersebut kosong. Adrian mengira kalau sang empunya meja memang belum sampai di kantornya sebab waktu yang masih cukup pagi.
Adrian mengetuk pintu tersebut tiga kali dan dibalas oleh seseorang bersuara berat dari dalam ruangan. Adrian memutar kenop pintu lalu memasuki ruangan dengan perlahan. Lawan bicaranya tampak masih berbicara di telepon sembari mengisyaratkan agar Adrian duduk di sofa tamu dengan tangan kanannya.
"Papa ada tamu, nanti Papa telepon lagi."
Laki-laki paruh baya pemilik ruangan memutus sambungan teleponnya lalu berpaling pada Adrian. "Sudah sarapan?" tanyanya kemudian.
"Sudah, Om."
"Bagaimana?" pria tersebut bangkit dari kursinya lalu bergerak ke sofa di seberang Adrian. "Kamu sudah pertimbangkan tawaran saya?"
"Sudah, Om. Papa juga memperbolehkan saya menerima tawaran tersebut."
"Papamu memang paling mengerti saya."
Balasan tersebut cukup membuat Adrian menahan senyumnya. Dengan perawakan seperti itu, Om Edgar masih bisa mengatakan hal yang demikian.
"Minggu depan, Papa akan pulang ke Indonesia dan ingin segera bertemu dengan Om Edgar."
"Oh, ya? Saya akan segera menghubungi Papamu."
"Ya, Om. Nanti akan saya kabari Papa lagi."
"Kalau begitu," Om Edgar kembali ke mejanya lalu membuka beberapa laci sambil mengeluarkan 3 buah map berwarna merah. "Ini kamu pelajari dulu."
Adrian menghampiri Om Edgar dan menerima map-map tersebut dengan sigap. "Baik, Om."
"Nah, persiapan selanjutnya akan saya kabari lagi, ya. Hari ini kamu kuliah jam berapa?"
Adrian mengerling jam tangannya sebelum menjawab, "Jam 9, Om."
"Ya sudah, lebih baik kamu berangkat sekarang."
"Saya permisi dulu ya, Om."
Pintu sudah terbuka setengah ketika langkah Adrian terhenti karena pesan terakhir Om Edgar hari itu. "Jangan sampai Ellen tahu, ya."
***
"Baik, sekian kuliah hari ini. Persiapkan diri kalian sebaik mungkin untuk ujian semester minggu depan. Ingat, dalam kuliah saya tidak ada perbaikan. Selamat siang."
Dua puluh lima mahasiswa yang tergabung dalam satu kelas menghela napas berat hampir bersamaan ketika kalimat tersebut dikumandangkan. Tak terkecuali Ellen yang baru saja melepas kacamatanya lalu memijat pangkal hidungnya keras-keras. Matanya perih setelah membaca kitab hukum yang sangat sulit dihapalnya. Baginya, menghapal adalah suatu kegiatan yang sangat tidak dikuasainya.
"Len, balik?" tanya Ara dengan wajah lelahnya.
Ellen merasakan hal yang sama, lelah dan sangat ingin pulang untuk beristirahat. Namun ketika ia melirik ke samping dan mendapat sesosok tubuh yang seolah tak bernyawa sedang menyembunyikan wajah pada lipatan tangannya di atas meja, niat tersebut terpaksa Ellen urungkan.
"Lo duluan aja, gue ada urusan." Jawabnya sembari mengerling ke samping.
Ara mengangguk mengerti. "Gue balik deh, ya. Bye, Guys."
Ellen merapikan buku-buku dan alat tulisnya dengan perlahan. Meskipun ia bergerak cepat, orang yang sedang berada di sampingnya pasti tak akan berkutik hingga kelas benar-benar sepi. Jadi untuk menghemat sekaligus mengumpulkan energi yang nyaris habis, gadis itu memperlambat gerak tubuhnya hingga kelas hanya diisi oleh mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elvanelle
Teen Fiction"Jangan takut. Masa lalu hanya perlu dikenang, bukan dijadikan sebagai penghalang untuk lo menerima sesuatu yang lebih indah di masa mendatang." ••••• Seluruh cast yang terlibat hanya kupinjam nama dan visualnya saja untuk memudahkan pembaca membaya...