6. A Reason

30 3 0
                                    

Lapangan futsal indoor Universitas Harapan Jaya sedang dipenuhi oleh sebagian besar mahasiswa dari kedua fakultas yang tengah bertanding memperebutkan piala bergilir Harapan Jaya Cup. Supporter mahasiswa fakultas ekonomi tampak riuh memecah suasana dengan semangatnya yang berapi-api. Cukup berbeda dengan supporter tetangganya, fakultas hukum, yang hanya menyanyikan mars mereka diiringi kibaran bendera fakultasnya.

Kedudukan unggul dipegang oleh fakultas hukum hingga sepuluh menit sebelum pertandingan terakhir. Suasana stadion semakin riuh oleh teriakan kedua pihak supporter yang kini tampak tidak mau kalah satu sama lain. Para pemain juga turut meningkatkan semangatnya bertanding demi mengharumkan nama fakultasnya.

Di salah satu sudut tribun, mata Ellen tidak lepas dari jersey bernomor punggung 8 yang kini tengah dikepung dua orang lawan demi merebut bola di kakinya. Si 8 tampak kebingungan mencari bantuan sebelum ia berhasil mengecoh kedua lawannya dan segera berlari menuju gawang. Dari sisi kirinya, pemain bernomor punggung 3 meminta bola dari 8 yang langsung direspon baik oleh si pembawa bola. Bola berpindah kaki dengan mulus lalu diakhiri dengan sorakan gembira dari rekan-rekan 3 yang baru saja berhasil sekali lagi menjebol pertahanan lawan.

Ellen ikut bertepuk tangan bersama kawan-kawan fakultasnya. Gadis itu terkekeh kecil melihat punggung pemain nomor 8 menyudahi kegembiraan timnya sejenak untuk kembali bermain serius di menit-menit terakhir. Dalam bidang ini, si nomor 8 yang menjabat sebagai kapten tim memancarkan aura kepemimpinan yang harus Ellen akui, sangat luar biasa. Entah apa yang membedakan futsal dengan kehidupan sehari-hari sang kapten sampai-sampai si kapten sendiri tidak pernah mengaplikasikan wibawanya di luar futsal.

Arka yang sedang menemani Ellen menonton pertandingan futsal hari ini sedari tadi sibuk memikirkan sesuatu yang bersarang lekat di pikirannya. Ia bahkan melewatkan aksi kawannya yang kembali mencetak angka. Lamunannya buyar ketika sebuah kekehan kecil terlontar dari mulut gadis yang duduk di sampingnya. Arka tahu, ia tidak akan menemukan jawaban dari pemikirannya bila ia hanya menerka-nerka sendiri. Meski demikian, Arka masih ingin menjaga perasaan temannya. Terlebih lagi perasaan seorang teman perempuan yang Arka yakini, sangat sensitif.

Namun kepalanya seolah nyaris meledak saat matanya tanpa sengaja mendapati Ellen yang tersenyum geli melihat permainan si nomor 8 di lapangan.

Sudahlah, tanyakan saja.

"Len?"

"Hm?" gumam gadis itu pelan.

Arka amat sangat bingung. Bagaimana cara mengungkapkan pertanyaan krusial dalam benaknya itu tanpa harus menyinggung perasaan Ellen?

Merasa tidak mendapat respon, Ellen menoleh ke samping dan mendapati Arka yang menatapnya terlalu serius. Gadis itu bergidik ngeri sejenak sebelum berhasil menguasai dirinya, "Lo kenapa?"

Arka memantapkan dirinya. Ia tidak ingin hidup dalam rasa penasaran yang terlalu mendalam. Ia harus menanyakan hal itu sekarang juga.

"Jujur sama gue, Len." Pintanya pertama-tama.

Ellen mengernyitkan dahinya mendapat permintaan seperti itu. "Ada apa memangnya?"

"Gue mau nanya sesuatu tapi lo harus jujur sama gue. Lo tenang aja, gue pasti ga akan bocor ke siapapun."

"Iya, ada apa?"

"Lo suka sama Elvan?"

Dan seperti yang Arka duga, mata Ellen melebar meski hanya sedikit. Dari ekspresi gadis itu, Arka akhirnya mendapat jawaban dari pemikirannya.

Ellen terdiam sejenak, membiarkan Arka mengamati respon spontannya. Ia yakin kalau perasaannya akan tertebak oleh orang-orang di sekitarnya, hanya saja ia tidak menyangka kalau secepat ini jadinya. Ellen menghela napas sejenak untuk menetralkan dirinya yang selalu bereaksi berlebihan jika ada yang menyinggung keberadaan Elvan lalu kembali memusatkan perhatian ke lapangan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ElvanelleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang