Setelah kejadian kemarin, aku seperti tawanan yang kabur saat melihat polisi.
Entahlah, menghindar adalah hal terbaik untuk melupakannya.
"Lo lagi nglamunin Fajar?" bisik Rahmi di telingaku.
Saat ini kami berdiri di pojok kelas bersandarkan jendela yang ukurannya lumayan besar. Mungkin jika aku sanggup, aku bisa melompat dari jendela segiempat tersebut. Sayang, aku tak berminat untuk hal itu.
"Sok tau lo, Mi," sangkalku padanya.
"Nggak yakin gue," ungkapnya sambil menatapku penuh selidik.
"Apa yang kalian lakukan di pojokan kelas?"
Aku dan Rahmi seraya menoleh ke asal suara. Ah, lelaki aneh itu rupanya.
"Lo nggak liat gue lagi ngobrol sama Aya?"
"Yang gue lihat sih, lo kayak lagi bermesraan dengan cewek ini."
Kurang ajar nih cowok.
"Gila lo. Eh Zaf, lo tau nggak artinya majnun? Yang kemarin si Ika bilang ke lo. Parah. Lo di katain tuh," kata Rahmi dengan semangatnya.
"Rahmi, lo udah berapa kali sih ngebahas soal ini? Lo udah ngasih tau berkali-kali."
"Hah? Ini nih Aya yang nyuruh gue ngingetin ke lo. Makanya gue nanya lagi," bela Rahmi.
"Kok lo nyalahin gue? Kan lo yang nanya, Mi."
Zafran berjalan ke arahku.
"Oh, jadi lo yang nyuruh Rahmi ngingetin ke gue?" selidiknya padaku. "Tapi gue belum tau nama lo. Ngomong ngomong, nama lo siapa? Gue Zafran. Pasti lah lo tau. Secara gue paling terkenal disini."
Pd gila ini anak. Ngidam apa sih emaknya dulu.
"Tapi gue nggak kenal sama lo,"
"Kan tadi gue barusan kenalan sama lo. Lagian mustahil lo nggak kenal gue tapi selalu ngingetin Rahmi masalah majnun itu," jawabnya seenteng kapas yang di terbangkan angin.
Aku tak menanggapi kicauannya. Ku alihkan pandanganku ke arah Mr.Harim yang sedang melatih anak paskib.
"Namanya Aya. Lo ngga bisa baca name tagnya apa?" Kata Rahmi kepadanya.
Dia melirikku sekilas. Aku memang sadar akan lirikan matanya namun aku pura-pura tak peduli dan memilih menopangkan tanganku ke jendela.
"Eh Aya, liat deh tuh,"
Aku mengikuti arah pandangnya, dia melihat di sekitar lenganku.
"Apaan?" aku mengangkat tanganku.
Dia tertawa terbahak bahak. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
"Ngapain lo ketawa?" tanyaku heran.
"Hah, udah gue duga sebelumnya. Pasti ketiak lo basah kan ? Dan lo takut gue liat kan? Hahaha"
Aku terperangah mendengarkan jawabannya. Ku keluarkan jurus cubitan mautku ke arahnya. Dasar menyebalkan !
"Heh, maksud lo apaan? Ketiak gue nggak basah ya."
"Duh sakit, apaan sih. Lo selalu nyubit dan mukul? Atau jangan jangan ini modus lo supaya bisa pegang gue ya?" alis tebal yang bernaung di wajahnya naik turun.
"Parah lo!"
Aku melepaskan cubitanku padanya.
"Heh Aji, sini deh. gue punya sebutan baru buat Aya. Nama dia sekarang ketiak basah," tawanya menggelegar di telingaku.
Aji, setauku memang dekat dengan Zafran. Yah mungkin karena memang selalu berada di belakang. Pawakannya kurus kering, tapi tingginya yah bisa di bilang kayak pemain basket lah-hampir setara dengan zafran loh-. Tapi yang paling bikin gue sebel rambut dia yang kadang pake poni.
"Hah? Ngapain lo ganti nama?"
"Temen lo aja yang setengah gila,"
Dia makin ketawa.
"Gue yang ngasih nama. Habisnya pas gue suruh liat jendela, dia malah liat ketiak dia. Kan bisa di simpulinn kalo dia takut ketahuan ketiaknya basah."
Ku sipitkan mataku ke arahnya. "Lo bisa diem nggak? Nggak penting."
"Duh jangan marah neng, kan cuma ngasih fakta."
"Ih, nyebelin banget sih lo," ujarku seraya meninggalkannya yang masih menahan tawa.
***
"Eh kamu.. "
Suara menyebalkan itu lagi. Aku berbalik dan menatapnya dengan berani.
"Apa? Ketiak gue nggak basah," sengaja ku angkat kedua tanganku agar dia percaya.
Tawanya sungguh meremeh. Kurasa dia butuh obat penenang.
Sengaja ku percepat jalanku agar terhindar dari bahan ejekannya. Apakah mengejek orang adalah hobinya ?
Selain aku, Rahmi dan teman temanku lainnya pernah jadi bahan candaannya. Bahkan ada yang sampai nangis gara gara dia. Tapi aku sendiri belum tau cerita detailnya sih. Cuma, apa hebatnya jadi orang menyebalkan ?
Drrt drrt drrtt..
Ada sebuah pesan masuk. Aku menghentikan jalanku dan membuka pesan tersebut.
Fajar.
Nanti malam kita dinner ya? Please. Aku jemput di depan kos kamu. Jam 7 yaa..
Aku tak membalas pesannya. Tidak ada gunanya batinku.
Dengan sedikit gontai ku lanjutkan perjalananku menuju kos. Aku memang sengaja tidak menyewa sepeda ataupun motor, selain karena Harvest dekat dengan tempat kosku, aku bisa sekalian olahraga tentunya. Hahaha..
"Ayaaaa......" teriak seorang perempuan di kedai jus dekat kos.
Aku membalikkan badanku. Ku sipitkan mataku untuk melihat dengan jelas siapa yang barusan meneriakkan nama indahku.
Dia sedikit berlari ke arahku. Menenteng dua jus mangga yang kelihatannya cukup segar untuk menghilangkan dahaga.
Rani rupanya. Dia temanku sekamar. Dia berasal dari Jawa timur juga tapi tidak satu kota denganku. Sekitar 4 jam lah dari kota ini menuju ke kotanya.
Dia baik. Cantik. Fashionable tentunya. Tapi lagi lagi, lebih tinggi aku daripada Rami. Hahaha.. Dia punya mimpi yang sama denganku. Sukses di usia muda. Awalnya aku memang tidak terlalu dekat dengannya. Tapi karena keadaan dan kebiasaanlah yang membuat kami semakin dekat.
"Gue kira udah pulang duluan."
"Emang iya. Tapi kan gue beli jus dulu. Habis panas banget disini. Beda sama kota gue yang dingin"
Dia menawarkan segelas jus padaku. Yah karena rezeki tidak boleh di tolak maka ku terima jus segar yang membuat tenggorokanku meraung sedari tadi.
"Makasih ya Ran. Pulang yuk. Capek gue," kataku sambil meneguk jus mangga kesukaanku.
"Oke, gue juga mau ngerjakan tugas ini di kosan"
Entah kenapa aku teringat pesan Fajar tadi. Haruskah aku menerima tawarannya ?
KAMU SEDANG MEMBACA
Distance
RomanceAku cukup terlena dengan cinta dan kenyamanan yang kau berikan. Hingga aku tersadar dalam kenyataan yang merenggut sebagian nafasku. Namun, aku masih berusaha mempertahankan kisah ini. Hingga sebuah kenyataan lagi-lagi menampar lubuk hatiku.