The Tears, caused by Him.

3.3K 221 48
                                    

Sepuluh tahun kemudian.....

Aku sekarang berada di Survey Corps. Yang dimana kata bibi Carla sangat berbahaya. Aku dan Armin, sahabatku saat kecil, masuk karena mengikuti Eren.

Sekarang aku sedang berada di padang rumput, tempat aku, Eren, dan Armin bersantai sembari menikmati matahari terbenam diatas dinding. Eren dan Armin tiduran di atas rumput, sementara aku bersandar pada pohon oak yang terdapat ayunan yang kami buat.

"Nee Mikasa, kapan ya kita bisa melihat laut?" Tanya Armin.

"Aku tidak tahu pasti Armin. Entah mungkin kita sudah ditelan titan bulat bulat, bebas tapi kita mati sebelum keluar dinding, atau kita benar benar bebas Armin. Aku harap kita bisa melihatnya bersama yang lainnya." Jawabku sambil mencoba merangkai bunga bunga yang tumbuh liar. "Bagaimana lukamu Eren? Apa parah?"

"Ah, luka kecil saja Mikasa. Tidak usah khawatir. Aku kan kuat. Jika kau kuat, aku pasti juga." Jawabnya.

"Tapi, kau itu tertimpa reruntuhan gedung loh. Dan kau berusaha melukai diri agar bisa menjadi titan. Ditambah, kau sangat lemas. Aku yakin kau kenapa napa." Sanggahku. Terlalu bodohkah ia menyakiti diri sendiri lalu tertimpa reruntuhan rumah penduduk. Lalu paru paru entah jantungnya tertusuk kayu penyangga.

"Mikasa.. aku tidak apa apa." Sanggahnya.

"Eren, kau itu selalu saja menganggap luka seperti itu luka kecil. Jika lambungmu hilang kau menganggap itu luka kecil?" Tanyaku.

"Mikasa, kau selalu berlebihan."

"Tapi memang kenyataanya.."

"Sudah cukup Mikasa!" Ia bangkit, berdiri, matanya melotot tajam kepadaku.

"Kau selalu saja seperti itu. Menempel denganku, mengikutiku, dan semuanya! Aku ini bukan anakmu ataupun adikmu ataupun saudaramu! Berhentilah mengikutiku. Sehari saja aku ingin kau tidak ada bersamaku." Ia memarahiku.

Aku kaget. Aku lalu mengambil syal yang melilit leherku dan menutupi mulut dan hidungku. Mataku mulai menghangat. Sementara Armin berusaha menenangkan Eren.

"E.. Eren, tenanglah. Jangan terlalu marah padanya. Dia kan sahabat kita juga, wajarlah dia seperti itu." Armin mengelus pundak Eren. Eren lalu mengambil napas panjang dan pergi.

"Hiks... hiks... hiks."

"A.. are? Mikasa?!" Armin kaget melihatku menangis. Ia lalu mengejar Eren.

"Eren, karena perbuatanmu, Mikasa menangis."

"Ah, dia terlalu cengeng. Bukankah dia bilang dia kuat?" Eren menjawab sinis.

Jleb! Hatiku rasanya seperti ditusuk seribu pisau dan pedang. Armin berusaha membujuk Eren meminta maaf padaku. Akhirnya, Eren melunak dan berjalan ke arahku.

"Ano.. Mikasa. Jangan dengarkan omonganku yang tadi ya. Aku benar benar keceplosan." Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Tak usah minta maaf. Dan apa katamu, keceplosan? Berarti kalau keceplosan kau sudah mencaci maki ku sejak lama dan kau memendamnya kan." Jawabku. Aku mulai berdiri dengan berlinangan air mata.

"Baiklah aku menuruti permintaanmu. Aku akan menjauhimu, jauh jauh sekali." Aku beranjak pergi. Namun tangan Eren menahan tanganku.

"Chotto Mikasa! Dengarkan dulu." Eren berusaha menarik tanganku, namun aku melepaskan diri dari tangannya.

"Selama ini aku berusaha melindungimu karena aku berhutang besar padamu. Jika dulu kau tidak menyelamatkanku, aku mungkin sudah jadi gadis murahan di dinding Sina. Aku lalu kembali berhutang nyawa padamu, saat aku hampir dimakan titan, kau yang menghajar titan itu sehingga aku masih bisa menyelamatkan diri. Karena kau, aku berusaha membalas semuanya. Tidak kurang tidak lebih. Dan satu lagi, kau itu keluarga keduaku. Aku tidak tahu apakah aku masih punya sanak saudara apa tidak. Itu saja!" Aku membentaknya. "Dan syal ini, ini pertanda aku masih mempunyai keluarga."

"Aku minta maaf Mikasa. Ya aku salah, kau saudara angkatku."

"Dan tidak usah meminta maaf padaku. Dan mulai detik ini juga, aku tidak peduli lagi padamu! Entah Rivai Heichou mau menghajarmu sampai kau remuk atau kau diculik Bertolt dan Reiner kembali dan menjadi musuh umat manusia, aku tidak akan peduli sama sekali. Terimakasih untuk kata katamu!" Aku berlari menuju kamar ku.

Sesampainya di sana, teman sekamarku yang tersisa (karena lainnya tewas) kaget melihatku menangis sesenggukan.

"Ya ampun Mikasa, apa yang terjadi padamu?" Tanya temanku Sasha.

"Mengapa kau menangis? Ceritakan pada kami. Berbagilah penderitaanmu, kami temanmu kan." Hibur Christa.

"Pantas kau dijuluki dewi." Aku berusaha tersenyum, lalu aku ceritakan semuanya.

"Sabar saja ya Mikasa. Aku relakan deh potato kun milikku, agar kau tersenyum kembali." Hibur Sasha. Yah, setidaknya aku tersenyum. Hmm.. ternyata berteman dengan perempuan enak juga. Dibanding dengan Eren. Aku dihibur oleh mereka. Eren, boro boro. Dia saja menghinaku.

Eren pov.

Aku sangat menyesali perbuatanku. Aku langsung kembali ke kamar asramaku. Kamar sedang kosong, jadi aku mengeluarkan barang berharga yang selalu kubawa selain kunci ruang bawah tanah rumahku, foto kami bertiga saat kecil.

Aku berada di kiri, Mikasa ditengah, Armin di kanan. Armin tersenyum ramah, Mikasa tersenyum tipis, aku merangkul Mikasa. Aku mengelus foto itu.

Mikasa, Armin, aku. Sekarang kami kehilangan satu sahabat sekaligus saudari angkatku. Aku memeluk foto itu. Mikasa.. maafkan aku

Tired!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang