Part 3

537 15 2
                                    

Kepalaku terasa berat dan pusing. Memikirkan kejadian tadi membuatku bingung. Sangat-sangat bingung. Bagaimana aku bisa memenuhi perjanjian terakhirnya?

Berbahagialah!

Bagaimana bisa aku bahagia kalau aku harus memenuhi perjanjian yang lainnya? Mengenai perjanjian lainnya yang sama-sama memiliki arti bahwa aku harus pergi-itu aku sudah memikirkannya. Yaitu, dengan menerima ajakan papa dan mama untuk pindah ke Canada. Dengan begitu, aku tidak akan muncul dihadapan Mario lagi, kan? Dan perlahan-lahan, aku bisa melupakannya. Mungkin.

Jujur, sangat berat untuk mengambil keputusan itu. Keputusan untuk pergi ke Canada dan meninggalkan semua kenangan di Indonesia. Terlebih, meninggalkan orang yang ku-cinta. Tapi, apa boleh buat? Aku harus membiarkan Mario bahagia bersama Oline.

"Oline bilang, dia akan menerimaku apabila kamu tidak didekatku lagi, jadi aku mohon kamu mau membantuku dengan memenuhi permintaanku dalam kertas itu," kata Mario sambil menatapku datar.

Jadi sudah jelas, bahwa-bila aku tidak ada-lalu Mario bisa bersama Oline-dan pasti Mario akan bahagia. Iya, kan? Aku benar, kan? Baiklah, kalau begitu, aku akan memenuhi semua janjinya kecuali perjanjian nomor 2,3, dan 5. Sungguh tidak mungkin aku bisa lupa begitu saja padanya setelah apa yang ia lakukan padaku. Apalagi membuang perasaan cintaku padanya, tidak akan bisa. Justru akan selalu membuatku memikirkannya.

"Rin? Buruan naik!"suara bariton khas kak Daniel menyentakku dan membawaku ke dunia nyata. Aku tersenyum kikuk lalu naik ke motornya. Mungkin, aku akan bicara di rumah mengenai-aku yang menerima ajakan papa dan mama untuk pindah ke Canada.

*****

Aku memasuki ruang keluarga, menemui papa dan mama yang sedang menonton TV.

"Pa, ma, ada yang pengen aku omongin" ucapku. Papa dan mama langsung menoleh dan tersenyum.

"Sini duduk," mama menepuk sofa disebelahnya-menyiratkanku untuk duduk.

"Begini, ma, pa.. emm, aku.. aku nerima deh ajakan papa dan mama untuk pindah ke Canada,"ucapku akhirnya sambil menatap kedua orangtuaku bergantian.

"Bener sayang?"tanya mama.

"Sudah papa duga, kamu gak mungkin nolak ajakan untuk pindah ke Canada. Karena jelas, disana adalah negara yang indah dan dari dulu kamu ingin merasakan salju kan?"tutur papa. Aku mengangguk malu sambil mengambil camilan di toples.

"Makasih, ya sayang!"mama merangkul pundakku dan membelai rambutku.

"Ngomong-ngomong, kenapa gitu kamu berubah pikiran? Biasanya, kamu itu keukeuh sama pilihan pertama kamu," tanya papa. Itu yang menjadi beban di pikiranku. Semua kejadian di sekolah tadi-lah yang membuatku berubah pikiran. Tapi aku tidak bisa memberitahu papa dan mama soal ini. Oke aku akan berbohong.

"Emm.. euh.. ya.. harusnya papa bersyukur dong aku nerima ajakan ini! Atau, papa mau aku berubah pikiran lagi?"tanyaku membuat papa memasang tampang takut.

"Ehh jangan-jangan, iya, papa senang dan bersyukur kamu nerima ajakan papa itu,"

*****

Minggu, 20 April

Hari ini adalah hari keberangkatanku ke Canada. Papa dan mama sudah mengurus kepindahanku dua hari yang lalu. Aku juga sudah bilang ke temen-temen, terutama Vina. Kebanyakan dari teman cewekku di kelas, mereka nangis karena aku pindah. Tapi, ada satu hal yang sengaja aku bilang sama mereka yaitu, jangan pernah bilang kepada siapa-pun termasuk Mario tentang kepindahanku ke Canada. Dan mereka langsung meng-iyakannya.

"Rin, udah belum? Papa udah nunggu tuh di garasi,"seru kak Daniel.

"Iya, bentar!"balasku. Aku langsung menarik koperku menuju garasi.

Our PromisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang