Part 4

549 14 0
                                    

"Kamu?"

Otakku melayang ke kejadian tadi sore di restaurant saat aku bertabrakan dengan seorang laki-laki. Dan sekarang, laki-laki itu berada di hadapanku. Menatapku sambil tersenyum senang.

"Ya, aku yang tadi bertabrakan denganmu,"katanya seolah membaca pikiranku. Tapi, bagaimana bisa dia ada disini? Dan.. ada apa?

Karena merasa ucapannya tidak mendapat respon, dia berkata "Aku hanya ingin mengembalikkan ini,"sambil menyodorkan sebuah kartu. Aku tidak dapat melihat kartu apa itu karena dia memberikan kartunya dengan keadaan kartu 'terbalik'.

Seolah-olah dia tau pikiranku, dia segera membalikkan kartu itu dan menyerahkannya padaku. Dia pandai sekali bahasa tubuh. Ah, ternyata itu Credit Card-ku. What?! Credit card?! Aku langsung mengambil kartu itu dan mengelus dadaku. Untung laki-laki itu baik-mau mengembalikkan kartu kredit yang sangat berharga bagiku.

"Terima Kasih banyak, ya!"ucapku-tentunya menggunakan bahasa inggris.

"No need to be thanks, aku hanya ingin tau namamu,"katanya sambil tersenyum.

"Namaku Karin, dan kamu?"tanyaku sambil mengulurkan tangan kanan-mengajaknya untuk berjabat tangan. Dia tersenyum dan menyambut uluran tanganku.

"Aku Vallen,"katanya.

"Ah, ya,Vallen, senang bertemu denganmu"ujarku. Sungguh, aku sudah tak tahan untuk berlama-lama disini karena udaranya cukup dingin.Tapi, aku tidak tau bagaimana caranya "mengusir" laki-laki, eh.. maksudku Vallen dari rumah sewaku. Dia begitu baik dan aku merasa tidak enak jika "mengusir"nya.

Selama beberapa menit, kami hanya diam. Dia terlihat gugup sambil sesekali menggosok telapak tangannya. Mungkin dia kedinginan. Apalagi aku!

"Kalau begitu, aku pulang dulu, sampai jumpa!"serunya sambil berlari pergi. Aku mengangguk lantas berjalan masuk ke dalam rumahku. Namun, satu pertanyaan hadir dalam otakku. Bagaimana laki-laki itu tau keberadaanku? Segera kuputar tubuhku dan berniat memanggil laki-laki itu. Namun aku telat, sosoknya sudah menghilang di telan kabut yang sangat lebat.

*****

Aku meringkuk di atas tempat tidurku. Tidak mau ada yang mengganggu malamku. Aku sudah cukup capek. Rupanya, aku tidak mudah untuk beradaptasi dengan cuaca dingin di Canada. Karena keseharianku adalah cuaca yang panas dengan terik matahari yang menusuk mata. Namun sekarang, malah aku kedinginan.

"Kenapa? Baru jam segini kok udah mau tidur?"suara berat yang sangat familier itu terdengar di telingaku. Aku malas menjawabnya. Paling dia ada maunya.Dan tadi itu hanya basa-basi belaka.

"Rin! Ditanya kok diem aja?"sewot kak daniel. Aku hanya meracau gak jelas sambil berusaha menutup telingaku menggunakan bantal. Lalu, dengan satu tarikan, sekarang aku berada di posisi duduk menghadap kak daniel.

"Segitu ngantuk-kah kamu sampai-sampai jam sekarang udah mau tidur?"tanyanya. Aku melirik jam beker di meja samping kasurku. Jam 8 PM, lalu kenapa?

"Tidak boleh-kah orang tidur di jam 8? Aku ngantuk, kak! Cuacanya sangat dingin, dan itu membuatku malas untuk melakukan hal-hal tidak berguna!"ucapku.

"Kamu belum makan, lho! Tapi, gak apa-apa sih kalo kamu gak mau, emm.. tadi, mama nyuruh aku untuk pinjem uang ke kamu, katanya buat beli sesuatu di depan rumah"katanya.

"Halah! Bilang aja kakak yang mau minjem? Iya, kan?!"

"Hehe, yaudah buruan dimana uangnya?"

"Tuh di lemari,dompet warna coklat, setelah itu kakak pergi deh yang jauh, ngantuk tau gak!"

Lalu, kak daniel pergi keluar sambil bersenandung ria. Gila tuh anak!

Aku kembali meringkuk di kasur-memikirkan keadaan rumahku di Indonesia. Tiba-tiba, pikiranku melayang pada Mario. Sedang apa dia disana? Bahagia-kah dia?

Aku tersenyum. Mario pasti bahagia. Segera kuambil sesuatu dari dalam lemari dan membukanya kembali. Aku membaca kertas pemberian Mario terakhir kali aku dan dia bertemu. Kertas yang berisi permintaannya. Kertas yang bermakna bahwa "AKU HARUS MELUPAKAN MARIO". Aku membacanya terus berulang-ulang, hingga tak sadar air mataku menetes. Mengalir dengan deras sampai membuatku lelah dan lemas. Akhirnya, aku tertidur dengan mata yang sembab, pipi yang basah, dan dengan posisi tubuh meringkuk-sambil memeluk kertas itu.

*****

Keesokan harinya, aku diajak oleh papa untuk melihat sekolah yang akan aku masuki. Hanya berbekal tas ransel, aku mengikuti langkah papa. Takut kalau aku akan terpisah dengan-Nya. Yeah.. you know-lah, aku kan gak hafal daerah sini.

Sesampainya di sekolah, semua pasang mata anak-anak menatapku bingung. Mungkin bertanya "siapa dia?". Aku hanya tersenyum sambil melambaikan tangan.

Dengan segala syarat, dan segala tetek bengek yang dibicarakan papa dengan pemimpin yayasan sekolah ini, akhirnya mulai besok aku sudah bisa bersekolah disini. Asyiikk.

"Pa, aku boleh gak pulang sendiri? Aku pengen main disini, kayaknya anak-anaknya ramah-ramah deh"

"Kamu yakin,rin? Nanti kalo ada apa-apa gimana?"tanya papa menghentikan langkahnya.

"Tenang aja, pa, karin pasti baik-baik aja kok!"ucapku sambil melihat ke arah perempuan berambut coklat panjang dengan mata berwarna biru. Hmm.. cantiknya. Dia tersenyum padaku lalu melambaikan tangannya. Akupun membalasnya dengan melambaikan tanganku juga.

"Oke, papa percaya kamu, tapi langsung telfon papa ya kalau ada apa-apa!"aku mengangguk mantap mendengar penuturan papa. Akhirnya papa dan mobil fordnya pergi menjauh dari sekolah ini. Jam sudah menunjukkan jam pulang, tapi kenapa anak-anak masih pada di dalam sekolah ya? Biasanya, pulang itu kan yang paling banyak disenangi murid. Tak terkecuali aku.

Keramaian di sebuah ruangan yang cukup luas memberi jawaban atas pertanyaanku. Disana, terdapat panggung yang dikelilingi banyak orang. Sepertinya ada konser.

"Permisi, ehh.. maaf, kamu anak baru tadi, kan?"ujar seorang perempuan berambut bob.

"Ya, ada apa ya?"tanyaku.

"Mau melihat konser bersamaku? Disana ada band lho.. personelnya juga ganteng-ganteng"katanya. Hmm.. mungkin akan asyik jika kuterima ajakannya.

"Oke, ngomong-ngomong, nama kamu siapa?"tanyaku.

"Oh iya, aku lupa, kita belum berkenalan ya? Namaku Ellen Alkaza, kamu?"ujarnya.

"Namaku Karin, senang berkenalan denganmu, El.."

"Ellen,"ucapnya sambil tersenyum. Aku mengangguk lalu mengikutinya untuk masuk-menerobos kerumunan orang yang melihat konser itu.

"Oke, kita mulai saja ya konsernya? Daripada kalian capek berdiri karena memandang wajah tampanku? Haha.."

ucap sang vocalis. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena tertutupi oleh kepala orang yang ada di depanku.

"Yuhu.....!!"teriak para penonton. Lalu, aku mendengar suara khas laki-laki yang sangat bagus. Jika aku disuruh menilai, aku akan memberinya nilai 95.

"Wahh dia tampan sekalii!!"seru Ellen.

"Mana? Aku tidak kelihatan!"seruku dengan suara agak keras.

"Sini!!"Serunya sambil menarik tanganku mendekat ke arahnya.

Akhirnya aku bisa melihat band itu, namun masih belum bisa melihat wajah vocalis-yang katanya ganteng-karena dia sedang membelakangi kami yang menontonnya. Sedetik kemudian, dia membalikkan tubuhnya ke arah kami.

"Dia...??!!"aku teriak tertahan karena kaget melihat siapa cowok itu. Sesaat kemudian, mata kami bertemu. Lalu, dia memberiku sebuah senyuman.

Our PromisesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang