Chapter 2

203 22 0
                                    

Kata demi kata kucoba untuk memahami setiap makna di dalamnya. Sudah menjadi rutinitasku untuk menghabiskan waktu di taman ini dengan membaca buku dan menghabiskan makananku. Beruntung disini selalu sepi, sehingga menjadikan tempat ini sebagai tempat favoritku. Sangat jarang para mahasiswa berdiam diri di tempat ini, mereka pasti lebih memilih untuk menghabiskan jam istirahat mereka di cafetaria bersama sekumpulannya.

Keheningan ini membuatku dengan mudah mengartikan setiap makna kata di dalamnya. Mungkin akan terdengar sangat konyol jika mengetahui bahwa seseorang sepertiku lebih senang membaca novel romance , namun itulah faktanya. Alasannya hanya untuk membayangkan diriku menjadi peran utama dalam novel tersebut dan merasakan kebahagiaan yang diceritakan di dalamnya. Aku tidak suka novel bergenre lainnya seperti sci-fi, fantasy, atau horror. Entahlah. Hanya saja ketika membaca buku-buku itu, aku tak bisa membayangkan diriku yang menjadi pemeran utamanya. Bayangkan saja jika novel tersebut berisi tentang seseorang yang dapat berubah wujud menjadi seekor binatang atau seseorang yang dikutuk. Aku bergidik ngeri jika berada di posisi itu. Lebih baik jika membaca kisah percintaan klise penuh derai air mata.

Namun, yang membuat keduanya berbeda yaitu ketika kenyataan yang ada tidak pernah seindah di dalam novel. Di akhir cerita pasti akan berakhir bahagia. Walaupun ada beberapa novel memilih mengakhiri cerita tersebut dengan tragis. Tapi pada kenyataannya, aku belum pernah merasakan happy ending. Walaupun cerita hidupku belum berakhir, tapi sudah lama aku tidak merasakan kebahagiaan di dalamnya. Mungkin terakhir kali aku merasakan dan mengenal apa kebahagiaan itu saat usiaku terlampau masih kecil. Pada saat itu pemikiran mengenai bahagia untukku sangat pendek. Namun, untuk sekarang terlalu banyak teka-teki yang belum terjawab mengenai apa itu bahagia.

Kulirik jam di tanganku, waktu menunjukkan jam istirahat akan selesai dalam beberapa menit. Segera aku kembali menuju kelas selanjutnya, tak mau membuang waktu.

...

Hembusan angin senja menerpa wajahku di tengah perjalanan menuju tempat dimana aku bekerja. Alunan musik di telingaku sangat mendukung indahnya cuaca pada saat ini. Tak bosan-bosan untuk berkata bahwa aku menikmati ketenangan ini. Menyusuri jalan setapak dan memerhatikan setiap langkah yang kulewati.
Tak sadar kakiku telah membawa tubuh ini sampai di tempat tujuan.

Aku bekerja part time sebagai seorang pegawai di toko buku ini. Terkadang hanya membereskan buku-buku berantakan, membersihkannya, dan menatanya. Tidak hanya itu, tetapi juga terkadang aku akan diperintahkan untuk menggantikan salah satu pegawai yang berjaga di bagian kasir jika dirinya tidak masuk kerja. Sudah hampir satu setengah tahun aku bekerja disini hanya untuk menambah biaya kebutuhanku. Meski bayarannya tidak terlalu besar, setidaknya bisa membuatku bertahan hidup selama ini. Dan hanya pekerjaan ini lah yang membuatku betah, karena aku tidak akan terlalu banyak bertemu orang-orang.

Salah satu pegawai bernama Andrew menyapaku. Aku hanya tersenyum tipis sebagai balasan atas sapaannya. Andrew akan selalu menyapaku dan dia adalah satu-satunya pegawai yang tak banyak bertanya tentangku. Ia cukup memaklumi sikapku yang seperti ini. Maka dari itu aku hanya akan membalas sapaan darinya —meskipun hanya sekedar tersenyum.

Kuletakkan tasku di loker dan mengganti pakaianku dengan seragam kerjaku. Setelah berganti, aku simpan kembali pakaianku di dalam loker dan keluar dari ruang pegawai. Aku segera memulai pekerjaanku. Dengan teliti aku menyusun buku-buku tersebut sesuai dengan susunan abjad. Sebenarnya apa yang mereka cari sehingga membuat semua buku ini berantakan? Hah... mungkin dengan sengaja mereka lakukan itu agar pegawai sepertiku terus bekerja dan tak berleha-leha. Disaat aku sedang asyik menyusun, tiba-tiba Andrew memanggilku.

"Raf, sepertinya Linda tidak masuk lagi hari ini dan kau harus menggantikannya di depan kasir." Ucapnya.

"Ok, terima kasih sudah memberi tahu. Dan tolong rapikan buku-buku ini." Andrew mengangguk. Aku berlenggang menuju kasir dan menempatkan diriku di depannya. Sambil menunggu lebih baik aku mengistirahatkan diriku sejenak. Kuambil ipod milikku, berniat untuk mendengarkan beberapa musik lalu menyumbat earphone ke telingaku. Untunglah tak ada larangan untuk membawa ponsel saat bekerja. Kuresapi setiap alunan nada yang kudengar sambil bersenandung kecil agar tak terdengar oleh satu orang pun. Kulihat seseorang—ralat, beberapa orang yang sepertinya akan membayar buku yang dibawanya. Aku segera berdiri dan mengecek harga buku-buku tersebut. Berusaha untuk tersenyum terhadap para pelanggan dan itu sukses membuat pipiku lama-kelamaan sakit. Ugh, ini bagian yang tidak aku suka menjadi kasir. Tersisa satu pelanggan di hadapanku. Orang itu mampu membuat kedua bola mataku hampir keluar melihatnya. Sial, mengapa dia lagi?

"Hai, kita bertemu lagi nona.. mmm.. entahlah siapa namamu." Ucapnya memperlihatkan cengiran kudanya. Apakah dia tak merasakan sakit di pipinya tersenyum selebar itu? Dia memberikan buku-bukunya kepadaku.

"Kau bekerja disini? Wah wah wah, sepertinya kita akan sering bertemu." Aku tetap melakukan pekerjaanku tanpa memedulikan ucapannya.

"Semuanya menjadi tiga puluh dua dollar."

"Huh, apakah kau selalu bersikap seperti ini? Padahal ini bukan area kampus." Tanyanya sambil mencondongkan badannya padaku. Aku hanya memutar bola mataku jengkel terhadap tingkahnya.

"Semuanya jadi tiga puluh dua dollar, Sir." Ucapku menekankan setiap kata terhadapnya. Kulihat ia mendengus pasrah segera mengeluarkan uangnya. Kuberikan buku tersebut terhadapnya.

"Terimakasih, datanglah kembali di lain hari." Ucapku memaksakan senyumku.

"Apakah dia harus bersikap seperti itu? Mengacuhkanku begitu saja." Gumamnya yang masih dapat terdengar oleh gendang telingaku. Aku hanya menatapnya datar tak menghiraukan gumamannya. Dia menatapku dari atas hingga ke bawah dan tersenyum penuh arti. Ada apa dengannya? Dasar gila.

Joshua segera melenggang pergi membawa buku-bukunya. Saat hendak membuka pintu, dia berbalik dan melambai melemparkan senyumannya.

"Sampai bertemu, Raflesiana."

•••

Scared of HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang