Chapter 3

170 15 0
                                    

Aku terbangun merasakan cahaya yang memaksa masuk melewati celah-celah jendela kamarku. Kulirik jam di nakasku menunjukkan pukul 8.47 pagi. Entah mengapa beberapa hari ini begitu melelahkan bagiku. Ditambah beberapa hari ini Josh selalu menggangguku. Karena ini memasuki akhir pekan, aku bisa sedikit bersantai ditambah tak ada jadwal kuliah pada hari sabtu.

Aku menyibakkan selimutku beranjak dari tempat tidur menuju ke dapur mengambil segelas air untuk menghilangkan dahagaku. Lalu, aku menuju kamar mandi berniat berendam dengan air hangat memanjakan diri dan melepaskan penat yang kurasakan selama beberapa hari kemarin. Tak berniat untuk melakukan aktifitas lainnya selain bersantai.

...

Kutekan tombol remote tv berulang-ulang mencari siaran yang cocok untukku bersantai dan berhenti pada siaran yang sedang menayangkan salah satu film fantasy. Apa boleh buat, daripada aku menonton berita atau tentang binatang. Aku menatap layar di depanku dengan serius sambil menyantap cemilanku, aku sedikit tak mengerti jalan cerita film tersebut. Di tengah keseriusanku, terdengar suara pintu apartemenku diketuk, namun aku tak bergeming sedikitpun. Mungkin tujuannya bukan apartemenku. Lagipula ada bel di depan, untuk apa juga mengetuk pintu. Aku meneliti terus jalan cerita film itu, sedikit demi sedikit aku mulai memahaminya. Suara itu kembali membuyarkan konsentrasiku menonton. Aku berdecak kesal. Dengan berat hati aku beranjak membukakan pintu.

"Dia bodoh apa bagaimana? Sudah jelas ada bel malah mengetuk nya dengan keras."

Saat pintu terbuka, di depanku memunculkan seseorang yang tak ingin kutemui sama sekali. Aku segera menutup pintu itu, namun terlambat. Orang itu lebih cepat menahan pintu ini. Dengan terpaksa aku membuka pintu ini. Beberapa menit kebisuan mengelilingi kami. Tak ada satupun yang memulai percakapan di antara kami. Aku tak berniat sama sekali untuk memulainya.

"Mmm.. Apa kabar?" Ia bertanya dengan kikuk, memecahkan kebisuan diantara kami.

"Pergilah." Ucapku tanpa menjawab pertanyaannya. Aku berbalik hendak menutup pintu namun di tahan kembali olehnya. Kali ini dia membuka pintu itu lebar-lebar dan masuk ke dalam apartemenku.

"Apa maumu?" Tanyaku dengan nada sedingin mungkin.

"Aku hanya ingin melihatmu," ucapnya terdengar sangat lirih di telingaku. Aku tetap diam di tempatku tak menjawabnya, aku tahu ia akan melanjutkan kalimatnya.
"...dan dia ingin menemuimu" lanjutnya. Aku tahu betul siapa orang yang dimaksudnya. Mendengar ucapannya, dalam seketika rentetan bayangan masa lalu itu kembali menghampiri pikiranku. Aku merasakan pening di kepalaku, tanpa kusadari sepertinya aku meringis kesakitan karena dia menghampiriku dengan khawatir.

"Jangan sentuh aku! Pergi!" Ucapku memundurkan posisiku. Aku menahan sakit di kepalaku. Astaga, hanya bayangan saja mampu membuat kepalaku berdenyut seperti ini.

"Raf, aku mohon temui dia. Aku sudah lelah mencarimu kemana-mana dan akhirnya aku menemukanmu disini. Ayolah, dia hanya ing—,"

"Tidak. Sekarang cepat pergi! Keluar dari apartemenku!" Aku memotong ucapannya dan menunjuk ke arah dimana pintu berada mempersilahkan —mengusirnya keluar. Dia menatap tepat di manik mataku penuh permohonan. Sarat yang penuh dengan kesedihan, kerinduan, dan penyesalan. Aku bukan mahasiswa jurusan psikologi namun aku tahu betul sarat pandang itu. Aku hanya membalas dingin tatapan itu.

"Apa kau sama sekali tidak mau menemuinya? Kasihanilah dia, Raf. Aku tak tega melihatnya terus-menerus seperti itu." Ucapnya memohon kembali. Aku hanya tersenyum mengejek terhadapnya.

Aku berdecih, memalingkan wajahku seraya mendengar perkataannya"Kau memintaku mengasihaninya? Maafkan aku, tetapi rasa belas kasihanku sudah hilang terhadapnya." Jawabku tanpa memandangnya. Sekelibat bayangan masa lalu itu melintas di benakku. Aku menahan sekuat tenaga benteng pertahananku agar tak luruh di depannya. 

Scared of HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang