"Jauhi aku! Dan jangan coba-coba mengejarku!." Aku berlari sekencang mungkin meninggalkannya. Untungnya Alex tak mencoba mengejarku. Aku segera mengetikkan pesan pada Dennis untuk menjemputku. Sudah terlalu larut untuk naik kendaraan umum.
"Bisakah kau menjemputku di halte dekat tempat kerjaku? Aku membutuhkanmu."
Namun, ketika aku hendak menekan tombol send, tiba-tiba sorotan lampu menyilaukan mataku sehingga aku tak dapat melihat siapa yang ada di depanku. Lampu itu mati dan keluar seseorang di dalamnya. Dia berjalan mendekat ke arahku sehingga begitu jelas wajahnya saat ini.
"Raf? Sedang apa kau disini? Dan- woah, apa kau menangis?"
"Tidak." Aku menyangkalnya.
"Yes, you are. Meskipun disini gelap, tapi mata bengkakmu itu tak bisa membohongiku." Ucapnya.
"Tidak! Aku sedang sakit mata. Maka dari itu mataku jadi bengkak." Ucapku masih menyangkal.
"Oh, benarkah? Dan bisa kau jelaskan jejak air matamu yang mengering itu?" Ia menunjuk dengan dagunya. Dan aku tak tahu harus memberi alasan apalagi.
"Umm, itu... ah, mengapa kau jadi banyak tanya sih?! Untuk apa kau menghampiriku?!" Aku mengalihkan pembicaraan agar Josh tak banyak bertanya.
"Aku ingin menawarimu tumpangan jika kau mau kembali ke apartemen, lebih baik kau pulang bersamaku saja. Tak baik wanita cantik sepertimu berjalan sendirian."
Ugh, kalimat terakhirnya begitu menggelikan. Tanpa pikir panjang aku menghampiri mobilnya dan masuk ke dalam menduduki kursi penumpang. Biar saja sebut aku tak sopan. Bukankah dia yang menawarkanku tumpangan? Kulihat dibalik kaca ia seperti menggerutu dan segera menghampiri mobil kemudian memasukinya. Ia mulai menjalankan mobilnya menuju apartemen. Untunglah ada Josh, kalau tidak Dennis pasti akan mencaci makiku jika mengganggu istirahatnya.
"Mengapa kau baru pulang, Raf? Biasanya kau tak akan pulang selarut ini."
"Bukan urusanmu." Jawabku seadanya.
"Dia mulai lagi." Gumamnya terdengar olehku.
"Apakah itu kebiasaanmu, menyuarakan pikiranmu sehingga kau tak menyadari jika aku mendengarmu?" Tanyaku terhadapnya.
"Memang kau mendengarnya?" Tanyanya innocent.
"Kau ini bodoh apa? Tentu saja suara sekeras itu bisa kudengar."
Ia terkekeh pelan. Aku tak memedulikannya. Mataku terasa berat sekarang. Apakah ini karena efek menangis? Aku memejamkan mataku sejenak, setidaknya menghilangkan sedikit rasa kantuk. Lagipula perjalanan menuju apartemen tak memakan waktu sedikit. Entah aku sudah berada di alam mimpi atau tidak, namun samar-samar aku mendengar seseorang berucap."Kau terlihat damai jika tertidur seperti itu." Sepertinya aku sudah di alam mimpi. Dan selanjutnya aku benar-benar dalam alam mimpiku.
Joshua's View
Kulihat dirinya tertidur di sebelahku. Sekilas aku meliriknya. Cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scared of Happy
General FictionBahagia. Banyak orang mengatakan bahwa 'bahagia' adalah sebuah situasi. Situasi dimana semuanya terlihat baik-baik saja. Situasi dimana semua orang melupakan satu kata bernama 'sakit'. Situasi dimana kita bebas melakukan sesuatu. Situasi dimana...