Sang surya kembali menggantikan sang penerang malam. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Mengapa begitu cepat sekali malam berganti menjadi pagi? Seperti baru tadi merasakan begitu nyamannya ranjang ini. Waktu bergulir begitu cepatnya. Mau tak mau aku harus memulai hariku dan mengerjakan aktifitas seperti biasanya. Terdengar dering ponsel berbunyi. Dengan malas aku mengambilnya dan melihat siapa yang menghubungiku sepagi ini, hm... tak biasanya. Oh, dia lagi. Untuk apa dia menghubungi jika letak apartemen kami saja bersebelahan.
"Ada apa?" tanpa berbasa-basi lagi. Terdengar dengusan di sebrang sana.
"Good morning, Raf. Bisakah kau ucapkan 'halo' atau 'hai' setidaknya?"
"Katakan, untuk apa kau menghubungiku? Aku akan bersiap kuliah sekarang."
"Aku menghubungimu untuk mengajakmu pergi bersama."
"Kau bisa mengirimiku pesan, tak perlu menghubungiku 'kan? Membuang waktu." Memutuskan hubungannya lalu beranjak dari ranjang menuju kamar mandi.
...
Bel berbunyi ketika aku sedang mencari sesuatu untuk dimakan. Aku tidak mengacuhkan suara bel itu dan tetap mencari sesuatu untuk mengganjal perutku, namun nihil. Sepertinya aku lupa berbelanja. Bel terus berbunyi bahkan dengan terus menerus orang diluar menekannya tanpa henti. Dengan kesal aku berjalan menuju pintu dan membukanya dengan kasar. Benar saja dugaanku, makhluk aneh ini berdiri di depan dengan cengirannya yang khas.
"Kau berusaha membuat telingaku rusak ya?" tanyaku dengan nada sedatar mungkin.
"Cepatlah pakai sepatumu. Kita berangkat kuliah bersama." Dia tidak menjawab pertanyaanku, tetapi malah menyuruhku dengan segera mengenakan sepatuku.
"Ini masih setengah tujuh pagi, bahkan kuliah dimulai pukul delapan." Aku masih terdiam di posisiku seraya memangku kedua tanganku. Josh mendengus kesal sambil memutar bola matanya seperti tokoh mean girls. Ew.
"Cepatlah! Apa kau tidak lapar? Memangnya kau sudah sarapan? Kutebak, belum. Nah, jangan membantah, cacing di perutku sudah meronta-ronta ingin diberi makan." Ia mendorongku masuk ke dalam agar aku segera bersiap. Ugh, bossy sekali? Memangnya siapa dia berani-beraninya memerintah? Dasar bocah tengil, idiot, bodoh, gil-.
"Ayolah, Raf!" Ucapannya menyadarkanku sehingga membuatku berhenti menyumpah nyerapahinya dalam hati. Dengan cepat aku memakai sepatu dan membawa tas. Aku keluar dan segera mengunci pintu apartemenku. Josh hanya menampakkan senyum kemenangannya. Ingin rasanya wajah tampannya aku cakar-cakar hingga tak berbentuk, tapi aku masih punya pikiran. Kami memasuki lift dan menekan tombol menuju basement untuk mengambil mobil Josh. Lift berdenting dan pintu pun terbuka. Josh berjalan di depan dan aku hanya mengikutinya di belakang. Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku mau mengikutinya? Ah, mungkin karena aku belum memakan apapun sehingga aku tidak bisa berpikir jernih. Tapi, ajakannya lumayan juga membuatku bisa mengirit uang transportasiku setidaknya. Ia membuka kunci, ketika terbuka tanpa ba-bi-bu aku memasuki kursi penumpang yang disusul olehnya duduk di kursi pengendara.
Mobil segera melaju. Hanya terdengar deruan mobil dan siulan yang dibuatnya. Tak ada percakapan selama beberapa menit. Aku memutuskan untuk bertanya kemana tujuan kita.
"Mau kau bawa kemana kita?"
"Mencari sarapan." Jawabnya begitu santai lalu melanjutkan siulannya.
"Bodoh, aku tahu. Maksudku kita akan sarapan dimana?"
"Nando's?" Terdengar seperti pertanyaan bukan pernyataan.
"Terserah kau saja." Jawabku malas. Aku mengeluarkan novelku sambil menunggu perjalanan sampai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scared of Happy
General FictionBahagia. Banyak orang mengatakan bahwa 'bahagia' adalah sebuah situasi. Situasi dimana semuanya terlihat baik-baik saja. Situasi dimana semua orang melupakan satu kata bernama 'sakit'. Situasi dimana kita bebas melakukan sesuatu. Situasi dimana...