Sang penjaga malam memberi keterangan di malam hari. Ditemani gemerlap bintang dan cahaya lampu perkotaan. Kedua kakak beradik itu tampak termenung, begitu terhipnotis akan keindahan pemandangan di depannya. Keduanya hanya terdiam sibuk dengan pikirannya masing-masing. Entah apa yang mereka pikirkan, namun keduanya hanya menampakkan senyum seraya menumpu kedua tangannya di pagar balkon.
"Jim? Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Raflesiana mulai angkat bicara, selama beberapa menit dalam keheningan.
"Apa?" Jimmy—nama kecil Jeremy—meminggirkan tubuhnya agar dapat melihat sang adik yang masih menatap lurus pemandangan di depannya.
"Aku tahu ini sedikit menggelikan ketika menceritakan tentang seseorang yang begitu dekat denganmu, tapi aku begitu ingin mengungkapkan semuanya." Jimmy tak mengerti apa maksud ucapan adiknya itu. Namun, ia memilih tetap diam menunggu adiknya melanjutkan ucapannya.
"Setiap kali aku berada di dekatnya, aku merasakan perasaan yang begitu aneh. Setiap kali dirinya menyebutkan namaku, terdengar begitu indah. Setiap kali dirinya memperhatikanku, aku merasakan aliran darah di pipiku memanas. Setiap kali dirinya tertawa atau tersenyum, tanpa kusadari, akupun ikut tertawa dan tersenyum dibuatnya. Setiap kali berada di dekatnya, jantungku berdegub beribu kali lipat dari biasanya, rasanya seperti mau mati. Entah apa yang terjadi padaku, entah apa yang aneh dariku, namun aku nyaman dengan perasaan aneh itu." Dalam satu hentakan nafas, Raflesiana mangucapkan semua perasaannya yang berbulan-bulan di pendam seorang diri. Jimmy tersenyum mendengar penuturan Raflesiana.
"Siapa lelaki beruntung yang mampu membuatmu seperti ini? Dennis?" Tanyanya terkekeh.
"Bukan. Aku tak pernah merasakan perasaan itu di dekatnya. Sudah lama ia bersahabat denganku dan tak pernah aku merasakan perasaan yang begitu membuncah seperti saat ini. Saat dirinya tersenyum atau tertawa, aku juga akan tertawa. Namun, berbeda. Aku hanya merasakan perasaan nyaman sebagai seorang sahabat, tak lebih dari itu." Jawabnya masih menatap pemandangan di depannya.
"Lalu?"
Raflesiana menarik nafas pendek, dirasa begitu berat hanya mengucapkan nama itu.
"Alex." Jimmy tetap terdiam, merasakan ada sedikit nada tertahan dalam suaranya. Raflesiana berbalik menghadap Jimmy.
"Dan kau."
•••
Seperti biasa, buku-buku tampak menanti untuk kurapikan. Andrew terlihat kewalahan membawa tumpukan buku di tangannya sehingga membuat pandangannya terhalang. Aku berjalan menghampirinya untuk membantu membawakan beberapa buku.
"Mau kau taruh dimana buku-buku ini?" Tanyaku.
"Oh, tolong bawa ke rak nomor tujuh. Terimakasih, Raf. Maaf merepotkanmu." Kami berjalan beriringan menuju rak nomor tujuh. Kuletakkan buku-buku itu di depan rak.
"Aku berganti pakaian dulu, setelah itu aku akan kembali lagi kesini membantumu." Ucapku berlenggang menuju ruang pegawai. Setelah berganti, aku kembali membantu Andrew. Buku-buku yang di bawanya begitu banyak untuk ditata ke dalam rak. Aku mengambil beberapa buku ikut menatanya.
"Beberapa minggu ini, sepertinya kau memiliki pengagum, eh?" Andrew membuka suara. Sejujurnya aku tak paham maksudnya. Kudengar Andrew terkekeh, aku menatapnya bingung.
"Jangan kerutkan dahimu seperti itu jika kau tak mengerti." Oh, apakah begitu?
"Lelaki itu tampak menyukaimu, Raf."
KAMU SEDANG MEMBACA
Scared of Happy
General FictionBahagia. Banyak orang mengatakan bahwa 'bahagia' adalah sebuah situasi. Situasi dimana semuanya terlihat baik-baik saja. Situasi dimana semua orang melupakan satu kata bernama 'sakit'. Situasi dimana kita bebas melakukan sesuatu. Situasi dimana...